Scroll untuk baca artikel
EkonomiKesehatan

Dampak Resesi: Orang Lebih Banyak Makan Makanan Tidak Sehat

Redaksi
×

Dampak Resesi: Orang Lebih Banyak Makan Makanan Tidak Sehat

Sebarkan artikel ini

Kualitas rendah, makanan ultra-olahan, seringkali jauh lebih murah daripada pilihan yang lebih sehat bagi masyarakat.

BARISAN.CO – Jumlah kasus Covid-19 mungkin boleh jadi mulai melandai, namun tidak dipungkiri, pandemi menghantam sektor ekonomi. Pada awal pandemi, banyak orang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan.

Kesulitan itu terus bertambah selama pengetatan yang terjadi di seluruh dunia. Saat ini, dunia mengalami inflasi, negara seperti Amerika Serikat pun berada di ambang resesi lain.

Sementara orang lain mungkin bersiap menghadapi pengangguran yang tinggi dan penutupan bisnis, sebuah studi baru menunjukkan adanya konsekuensi lain, yakni perubahan pola makan.

Mengutip Study Finds, peneliti Sacred Heart University menyebut, selama resesi, orang cenderung lebih sedikit makan protein dan sayuran hijau dan lebih banyak konsumsi gula serta makanan berlemak. Perubahan pola makan itu berpengaruh pada lebih banyak orang yang tinggal dengan akses makanan keseluruhan lebih rendah.

Kualitas rendah, makanan ultra-olahan, seringkali jauh lebih murah daripada pilihan yang lebih sehat bagi masyarakat.

“Secara keseluruhan, kami menemukan bahwa Great Resecession berdampak negatif pada perilaku diet orang dewasa dan anak-anak,” ungkap Jacqueline Vernarelli, PhD., direktur pendidikan penelitian dan profesor kesehatan masyarakat di Sacred Heart University.

Dia melanjutkan, hal itu menambah bukti kuat adanya penurunan ekonomi berdampak bagi pendapatan rumah tangga, status pekerjaan, dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga selanjutnya.

“Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kerawanan pangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan peningkatan drastis akan sumber daya makanan darurat serta jenis bantuan lainnya. Dengan mengidentifikansi pola asupan utama selama resesi sebelumnya, kami bisa mengidentifikasi wilayah yang mungkin memerlukan intervensi sekarang dan selama tahun pemulihan,” tambah Jaqcueline.

Memilih yang Penting Murah

Tim peneliti mengumpulkan data dari lebih 60.000 orang dewasa dan anak-anak di Amerika Serikat. Mereka melihat pola makan masyarakat dan ketahanan pangan rumah tangga sebelum, selama, dan setelah Resesi Hebat selama tahun 2007 hingga 2010.

Definisi ketahanan rumah tangga ialah setiap orang dalam rumah tangga memiliki cukup pangan untuk hidup aktif dan sehat. Sedangkan, kerawanan pangan rumah tangga memiliki akses terbatas atau tidak pasti ke makanan sehat yang cukup.

Orang dengan kerawanan pangan berpeluang tinggi untuk kekurangan gizi dan mengidap penyakit kronis.

Hasilnya, kualitas nutrisi makanan berkurang saat keluarga memilih membeli makanan lebih murah daripada lebih sehat. Rumah tangga yang rawan pangan mungkin memiliki cukup makanan agar membuat semua orang merasa kenyang, namun variasi kualitas makanan mungkin saja menurun.

Selama Resesi Hebat, anak-anak yang tinggal di rumah dengan ketahanan pangan rendah mengonsumsi lebih banyak lemak padat dan gula. Anak-anak makan 200 kalori lebih banyak perharinya daripada sebelum dan sesudah resesi.

“Dengan data historis untuk memahami kebutuhan nutrisi potensial dan area yang menajdi perhatian dapat membantu ahli gizi kesehatan masyarakat untuk melayani masyarakat yang menghadapi kerawanan pangan dengan lebih baik serta membantu menginformasikan keputusan terkait kebijakan bantuan pangan,” tambah Jacqueline.

Selama ini juga, di Indonesia saat ada bantuan makanan ke masyarakat, selalu ada mie instan yang tentu itu jauh dari kata sehat. Mengingat bahaya mie instan dan dampak resesi bagi pola makan masyarakat seperti yang disebutkan di atas, mungkin dapat ditemukan kebijakan untuk mengganti bantuan mie instan dengan makanan yang lebih sehat dan bergizi. [rif]