Scroll untuk baca artikel
Blog

Dari Cak Nur Tentang Adab Beda Pendapat

Redaksi
×

Dari Cak Nur Tentang Adab Beda Pendapat

Sebarkan artikel ini

Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur adalah salah seorang cendekiawan muslim yang berpengaruh di Indonesia

“NURCOLISH Madjid,” ungkap Kiai saya, “Adalah pemikir Islam, tapi tidak berkopiah atau berjubah.” Itu kali pertama saya mendengar nama Nurcholis Madjid.

Setelah itu, nama Nurcholish Madjid tertumpuk dalam memori hingga saya membaca buku tentang aliran sesat di Indonesia. Di antara yang dimaksud dalam buku itu Nurcholis Madjid dan NU, organisasi yang pesantren saya anut.

“Jangan termakan isu,” jawab Abah Kiai, ketika saya mengadukan kegelisahan saya. “Itu pekerjaan orang kurang berilmu. Baru berilmu sedikit sudah menyatakan hanya dia yang benar. Jangan sungkan bertanya dan perbanyak baca buku dan kitab.”

Karena keterbatasan perpustakaan pesantren, saya tidak menemukan buku karangan Nurcolish Madjid di sana. Dan kesempatan untuk membaca karangannya datang pada saat masuk universitas. Pertama sekali saya membaca Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Waktu terus bergulir dan kian banyak saya membaca pelbagai karyanya.

Ternyata, saya tidak menemukan ide-ide nyeleneh dalam karyanya. Bahkan, saya menemukan tafsir Islam ala santri modern dan sesuai untuk kemajuan umat muslim Indonesia. Beliau menawarkan pola keberagamaan yang tidak melulu monoton. Pendeknya, segar.

Ide-ide yang beliau tuturkan di setiap karyanya begitu mengalir karena bahasanya tidak meledak-ledak. Termasuk saat menulis tentang kepercayaan lain, malah simpatik.

Tulisannya bertabur ayat, hadist atau aforisme yang berasal dari pengetahuan Islam klasik. Ungkapan seperti ridlâ al nâs ghâyat un lâ tudrak atau mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu yang dikutip dalam tulisannya karib di telinga saya.

Membaca tulisan-tulisannya seperti membaca banyak buku. Pasalnya, untuk mengukuhkan pendapatnya beliau fasih mengutip hujjah ulama atau filsuf muslim dan tidak sungkan mengambil pendapat intelektual Barat. Ia meyakini kebenaran terdapat di mana-mana, tidak hanya di Islam. Banyak buku rujukannya dan beliau mencantumkannya di catatan kaki.

Namun, bagi saya, sosok Cak Nur masih berbentuk fragmen, yakni dalam tulisannya beliau adalah sosok intelektual cerdas, sarat gagasan, juga santun.

Pengetahuan saya tentang Cak Nur akan utuh menjadi bingkai ketika bertemu dan mengamati laku beliau secara langsung. Dengan begitu, saya bisa memberikan penilaian yang proporsional tentangnya.

Dan, kesempatan untuk mendengarkan ceramahnya secara langsung itu datang. Karena meruahnya informasi saya berkesempatan mendengarkan ceramahnya beberapa kali. Di setiap ceramah yang saya ikuti, beliau selalu menggulirkan pendapatnya dengan tenang dan artikulasinya jelas. Pembawaannya teduh dan alur berpikirnya sistematis. Tak jauh beda dengan tulisannya. Sebagai pendengar mudah bagi saya untuk memahami dan mengikuti cara berpikirnya.

Selain itu, ketika ada pertanyaan dari peserta yang emosional beliau menanggapinya dengan tenang, tidak tersulut emosi. Beliau tetap sopan menanggapi orang yang kontra kepadanya dan mencoba mengerti letak permasalahan utama dari sebuah pernyataan. Oleh karena itu jawaban yang beliau berikan tak urung selalu tepat dan memuaskan.

Dengan begitu, beliau sedang membangun pola berpikir yang sehat. Sikapnya ini sesuai dengan konsep perdebatan dalam salah satu ayat al-Quran yang kurang lebih artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…(16:125).


“SIHIR Nurcholish”. Sebuah istilah yang dikeluarkan para pengkritiknya untuk menyebut sikap Cak Nur yang simpatik. Bahkan, mereka menyebut bahwa “sihir Nurcholish” lebih memukau ketimbang sihir Harun Nasution.