Scroll untuk baca artikel
Blog

Dari Cak Nur Tentang Adab Beda Pendapat

Redaksi
×

Dari Cak Nur Tentang Adab Beda Pendapat

Sebarkan artikel ini

Hingga saat ini, saya belum bisa mencerna apa kiranya maksud mereka tersebut mengistilahkan demikian, yang pasti berbau negatif. Daripada berspekulasi yang bisa menghasilkan suudzan (persangkaan yang buruk) lebih baik saya tidak terlalu mempermasalahkanya.

Bahwa beberapa orang kecewa kepada Cak Nur karena tidak menanggapi kritik seperti penyebutan “sihir Nurcholish”, tentu bisa dipahami. Tak jarang Cak Nur dicap sebagai pengecut. Tapi, bagi saya justru ia intelektual muslim sejati. Ia tak menjawab pelbagai kritik yang dialamatkan kepadanya karena rata-rata kritikan itu bernada negatif.

Bukan kritik membangun, namun merusak. Dengan kata lain bukan mengkritik (to critisize), tapi menghina (to insult). Cobalah tengok tulisan yang mengupas ide Cak Nur dalam buku Hartono Ahmad Jaiz, Sabili, Hidayatullah, dan media yang senada lainnya.

Tidak ada itikad baik para pengkritik itu hendak berdiskusi dengan sehat. Bagaimana bisa muncul tukar pikiran yang sehat jika belum apa-apa sudah dicap sesat atau kafir? Dalam diskusi seperti ini setiap orang ingin mengungguli pendapat lawannya.

Padahal untuk ini al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menyatakan: diskusi yang bertujuan untuk saling menjatuhkan, menunjukkan kelebihan pribadi, dan meraih kemuliaan adalah sumber segala etika yang buruk.

Karena, lanjut al-Ghazali, diskusi semacam itu akan melahirkan riya, sombong, dan hasud. Oleh karena itu, tindakan Cak Nur untuk tidak melayani kritik berbau negatif sudah tepat. Pepatah Arab tepat untuk ini: Tarku al-Jawab a’la al-Jâhili Jawabuhu (tidak menjawab pertanyaan orang “bebal” adalah jawabannya).

Ada baiknya kita renungkan sajak Syauqi Bek: kelestarian bangsa bergantung atas etika yang baik/ jika tidak kehancuranlah baginya. Betapa banyak suku Arab era Jahiliyah yang lenyap disebabkan pertikaian di antara mereka. Itu semua bermula dari moral mereka yang buruk seperti mabuk-mabukan, berjudi, dan mudah emosi.

Saya kira, Cak Nur tidak ingin bangsa ini terbawa ke dalam lingkaran perseteruan yang tidak sehat dan rentan melahirkan anarki dengan mengabaikan kritik tidak membangun kepadanya.

Berakhlak baik. Itulah dari sekian ajaran yang ia wariskan kepada kita generasi selanjutnya. Ada banyak kesaksian yang keluarga, kolega, bahkan pengkritiknya, yang jujur tentu, kemukakan tentang sikapnya yang terbuka dan tawadlu. Makin berisi, padi makin merunduk.

Saya mendapat cerita dari senior. Dia pernah memohon rekomendasi dari Cak Nur untuk kuliah ke Leiden, Belanda. Setelah selesai dengan urusan rekomendasi Cak Nur mengantar sampai pinggir jalan, bahkan menunggu hingga Kang Deden naik bis. Padahal ketika itu keduanya tidak akrab benar. Lalu, siapa yang menolak bahwa perbuatannya ini mulia? Inikah “sihir Nurcholish” itu?

Setelah membaca karyanya, melihat sikapnya, dan mendengar kesaksian orang tentangnya, saya mendapatkan sebuah bingkai tentang Nurcholis Madjid: ia seorang terpelajar. Karena selain telah berbuat adil dalam pikiran yang nampak dalam tulisannya, juga telah menampilkan keadilan itu dalam perbuatan.

Bahwa ide pembaruan Cak Nur terus bergema, tentu sulit orang membantahnya. Namun, yang sangat disayangkan ternyata ide-idenya belaka yang mendapat sorotan dari pengikutnya ketimbang sikapnya yang arif.

Hal itu terbukti dari para pengikutnya yang karena terlalu “bernafsu” menyegarkan pemikiran Islam tak jarang menggunakan bahasa propaganda. Baik dalam diskusi maupun tulisan.

Dalam beberapa diskusi, misalnya, tidak jarang para pengikut Cak Nur ikut tersulut emosi jika dikritik pendapatnya. Karena tidak ada dokumentasi, saya mengakui kekurangan untuk menyodorkan data di sini.