Scroll untuk baca artikel
Blog

Dari Cak Nur Tentang Adab Beda Pendapat

Redaksi
×

Dari Cak Nur Tentang Adab Beda Pendapat

Sebarkan artikel ini

Saya kira, Cak Nur tidak ingin bangsa ini terbawa ke dalam lingkaran perseteruan yang tidak sehat dan rentan melahirkan anarki dengan mengabaikan kritik tidak membangun kepadanya.

Berakhlak baik. Itulah dari sekian ajaran yang ia wariskan kepada kita generasi selanjutnya. Ada banyak kesaksian yang keluarga, kolega, bahkan pengkritiknya, yang jujur tentu, kemukakan tentang sikapnya yang terbuka dan tawadlu. Makin berisi, padi makin merunduk.

Saya mendapat cerita dari senior. Dia pernah memohon rekomendasi dari Cak Nur untuk kuliah ke Leiden, Belanda. Setelah selesai dengan urusan rekomendasi Cak Nur mengantar sampai pinggir jalan, bahkan menunggu hingga Kang Deden naik bis. Padahal ketika itu keduanya tidak akrab benar. Lalu, siapa yang menolak bahwa perbuatannya ini mulia? Inikah “sihir Nurcholish” itu?

Setelah membaca karyanya, melihat sikapnya, dan mendengar kesaksian orang tentangnya, saya mendapatkan sebuah bingkai tentang Nurcholis Madjid: ia seorang terpelajar. Karena selain telah berbuat adil dalam pikiran yang nampak dalam tulisannya, juga telah menampilkan keadilan itu dalam perbuatan.

Bahwa ide pembaruan Cak Nur terus bergema, tentu sulit orang membantahnya. Namun, yang sangat disayangkan ternyata ide-idenya belaka yang mendapat sorotan dari pengikutnya ketimbang sikapnya yang arif.

Hal itu terbukti dari para pengikutnya yang karena terlalu “bernafsu” menyegarkan pemikiran Islam tak jarang menggunakan bahasa propaganda. Baik dalam diskusi maupun tulisan.

Dalam beberapa diskusi, misalnya, tidak jarang para pengikut Cak Nur ikut tersulut emosi jika dikritik pendapatnya. Karena tidak ada dokumentasi, saya mengakui kekurangan untuk menyodorkan data di sini.

Namun, contoh yang jelas bisa dilihat dalam bentuk tulisan. Misalnya dalam Fikih Lintas Agama halaman 5 tertulis “…karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.”

Saya sendiri tidak yakin betul ini pendapat Cak Nur. (Semoga sikap saya ini bukan pengkultusan yang Cak Nur kecam. Tapi, setidaknya saya masih meyakini Cak Nur sebagai pemikir Islam, bukan nabi.)

Karena beliau tidak akan “kasar” menyudutkan Imam Syafi’i. Bahkan dalam penyebutan Imam Syafi’i, Cak Nur tidak lupa menaruh gelar Imam di depannya (silahkan lihat Ensiklopedi Nurcholish Madjid entri S).

Selain itu, Cak Nur tidak akan menyalahkan Imam Syafi’i, tapi lebih mengoreksi diri kenapa pemikiran Imam Syafi’i menjadi demikian. Apakah karena kemalasan umat untuk berpikir atau karena kecerdasan sang Imam yang tidak bisa kita tandingi.