MALAM ITU saya berdiskusi santai dan mengalir di sebuah dusun yang relatif pelosok. Ada belasan orang, umumnya sudah tua-tua.
Kita duduk melingkar di salah satu teras rumah warga dan menikmati kopi serta panganan apa adanya. Tak ada acara khusus. Teras itu tempat nongkrong warga yang luang waktu dan ingin bersosialisasi.
Malam itu obrolan cukup menarik seputar dolanan anak masa silam yang penuh kenangan. Warga saling bersaut menyebut nama dan jenis mainan tempo dulu. Derai tawa tak berkesudahan ketika mereka menceritakan kenangan itu penuh jenaka.
Beberapa warga memperagakan dolanan anak itu seperti memainkan pantomim. Keadaan makin riuh dan penuh gelak tawa malam itu lantaran orang tua berlaga seperti bocah-bocah.
Suasana menjadi agak tenang ketika saya tanya apakah dolanan yang disebutkan itu masih ada? Mereka hampir serempak menjawab tidak ada. Bahkan, satu saja. Penyebab lenyapnya dolanan anak itu, menurut analisa warga, sejak masuknya TV dan listrik.
Terlepas dari pandangan warga soal dolanan anak, pesan penting dari kisah malam itu adalah, ada produk budaya yang berusia mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun bisa hilang tanpa jejak oleh perubahan zaman. Anak-anak sekarang mungkin sudah tak mengenali lagi.
Nasib pupusnya produk budaya ini, tidak mustahil menimpa jenis produk budaya lainnya dalam suatu masyarakat. Semisal kehidupan gotong-royong, suasana keguyuban dan aneka upacara atau seni tradisional. Banyak tradisi tergerus rata dan sulit dikenali lagi dan kalau masih ada yang tersisa, nasibnya sudah berjalan payah.
Banyak orang memberi pemakluman atas surutnya tradisi oleh perkembangan zaman. Padahal tradisi adalah sejarah dan ekosistem budaya tempat suatu masyarakat memiliki akar kehidupan. Manusia tidak mungkin lepas dari sejarah dan kebudayaannya. Hilangnya dolanan anak hanyalah representasi dari adanya sejarah budaya yang tergunting dari kehidupan.
Sementara gerak zaman baru bukanlah peristiwa yang spontan dan bebas nilai. Zaman baru lahir dari ‘ekspansi’ sejarah dan budaya lain yang tampil progresif dan superior serta ‘mendikte’ semua tatanan sosial yang dilewatinya.
Masalahnya adalah, apakah kita merelakan diri mengikuti dan menjadi bagian arus baru. Atau kita berusaha bertahan menjadi diri sendiri? Itu adalah pilihan. Kekhawatiran banyak pihak terhadap pengaruh budaya baru dan adanya upaya kembali pada jatidiri bangsa adalah bentuk keinginan menjadi diri sendiri.
Tapi masalah, menjadi diri sendiri adalah pilihan tak mudah. Itu artinya kita mesti memperkuat kesadaran sejarah dan daya tahan atas budaya sendiri dan pada saat yang sama melakukan penyesuaian kreatif terhadap dinamika perubahan zaman. Memilih menjadi diri sendiri adalah keberanian menyatakan diri dalam membangun eksistensi yang berpijak pada sejarah dan budaya sendiri.
Pada posisi ini keberanian membuat budaya tanding (counter culture) adalah pilihan tak terelakkan. Budaya tanding tidak berarti membangun sikap antipati, tetapi keberanian melakukan proses kreativitas budaya yang berpijak pada kaki sendiri. Counter culture adalah sebuah aksi untuk mengaktualkan modal sejarah budaya pada kehidupan saat ini sehingga tampil penuh percaya diri dan kebanggaan. [dmr]