BARISAN.CO – Demokrasi di Indonesia bisa disebut demokrasi tanpa demos, yakni demokrasi yang mengabaikan suara publik yang sebetulnya menjadi tulang punggung demokrasi itu sendiri. Hal itu salah satunya muncul dalam isu penundaan pemilu.
Demikian disampaikan Wijayanto pada dialog kenegaraan dengan tema Penundaan Pemilu, Kemunduran atau Terobosan Demokrasi dan Peluncuran Buku LP3ES “Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil,” Senin (28/3/2022)
Menurut Direktur pusat Media dan Demokrasi LP3ES ini, buku Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil yang diterbitkan LP3ES, terdapat 4 indikator Perilaku otoriter yakni demokrasi yakni komitmen lemah atau penolakan teradap aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi atau anjuran kekerasan, dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media.
Wijayanto mengatakan wacana yang mengingkari aturan main demokratis telah muncul sejak 2019 di mana setelah pemilu Prabowo dan Surya Paloh bertemu membicarakan amandemen UUD 1945.
“Meskipun Indonesia digolongkan negara demokrasi yang cacat namun skor di electoral proses dan partisipasi masyarakat sipil yang mempunyai angka tinggi. Jika pemilu sampai ditunda, niscaya skor kita akan jeblok,” terangnya.
Dosen FISIP UNDIP ini juga menjelaskan konteks kemunduran demokrasi di Indonesia, ada berbagai permasalahan lain yang dijelaskan dalam buku LP3ES: buzzers politik dan manipulasi opini publik merupakan salah satu di antaranya.
“Riset menemukan bahwa politisi dan pengusaha berperan dalam pendanaan para buzzers ini,” imbuhnya.
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menyampaikan gejala memperpanjang jabatan presiden menjadi 3 periode juga tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia dikenal degan isilah “third termism”.
“Dalam upaya itu, ada yang berhasil tapi juga ada yang berdarah-darah. Namun satu catatan pentingnya adalah, tidak satupun negara-negara yang mencoba third termism, diketahui bukanlah negara dengan demokrasi yang bermutu,” sambungnya.
Menurut Jimly, ide penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak boleh terjadi, tidak mungkin terjadi dan tidak akan terjadi. Hal itu karena amanat reformasi konstitusi Indonesia, ide pertamanya adalah Pembatasan Kekuasaan.
“Pada pasal 7 UUD 1945 perubahan pertama, tercantum presiden menjalani jabatan untuk 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan presiden hanya untuk satu kali jabatan berikutnya. Presiden juga telah bersumpah tidak akan mengkhianati bunyi konstitusi tersebut. Pada pasal 22 E disebutkan lebih tegas, bahwa Pemilu diadakan 5 tahun sekali,” terang Anggota DPD RI ini.