Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Di Segala Tingkat Pendidikan, Gaji Perempuan Jauh Lebih Rendah dari Laki-laki

Redaksi
×

Di Segala Tingkat Pendidikan, Gaji Perempuan Jauh Lebih Rendah dari Laki-laki

Sebarkan artikel ini

Laporan KemenPPA “Profil Perempuan Indonesia 2022” menunjukkan, meski berpendidikan tinggi sekali pun, selisih gajinya semakin mencolok.

BARISAN.CO – Ketidaksetaraan gender adalah bentuk ketidaksetaraan yang paling menyebar di dunia. Meski saat ini perempuan berani bersuara dan laki-laki juga turut mendukung, namun ketidaksetaraan nyatanya masih terjadi.

Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia “Global Gender Gap Report 2022” mengungkapkan, secara global, perempuan dibayar 37 persen lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan serupa. Dengan tingkat kemajuan saat, maka diperkirakan butuh waktu 151 tahun untuk menutup kesenjangan tersebut.

Beberapa orang percaya, salah satu penyebab perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan terkait dengan tingkat pendidikannya.

Namun, Laporan Kemen PPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) “Profil Perempuan Indonesia 2022” justru menunjukkan, di tingkat pendidikan apapun, gaji perempuan tetap jauh lebih rendah ketimbang laki-laki.

Dari laporan tersebut, tampak jelas, meski berpendidikan tinggi sekali pun, selisih upahnya semakin mencolok. Selisih upah rata-rata laki-laki dan perempuan dengan pendidikan D1/D2/D3 sebanyak 1.340.057, laki-laki (4.243.200) dan perempuan (Rp2.908.143).

Sementara, selisih upah rata-rata laki-laki dan perempuan dengan pendidikan D4 ke atas sebesar Rp1.422.616, laki-laki (Rp4.838.679) sedangkan perempuan (3.416.063).

OXFAM menyebut, ketidaksetaraan dalam bidang ekonomi akan merugikan perempuan di negara berkembang sekitar US$9 triliun per tahun. Disebutkan juga, negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang lebih tinggi cenderun memiliki pendapatan yang lebih tinggi dan bukti dari sejumlah wilayah serta negara menunjukkan, semakin berkurangnya kesenjangan, angka kemiskinan semakin turun.

UN Women juga mengungkapkan hal yang sama, di mana ketidakadilan yang mencolok akan membuat jutaan perempuan dan keluarga hidup dalam kemiskinan yang mengakar serta kesenjangan kesempatan.

Penelitian Kristi Minnick, Profesor Keuangan Stanton Bentley, mungkin lebih menjelaskan penyebab ketidaksetaraan upah ini terjadi.

“Perbedaan upah gender secara langsung disebabkan oleh keyakinan budaya dan sikap populasi terhadap perempuan,” katanya.

Dia bersama rekan peneliti mencatat, keyakinan dan nilai budaya tertanam dalam masyarakat jauh sebelum keputusan kompensasi.

“Sistem tata kelola perusahaan pasti mencerminkan nilai budaya yang dominan karena keputusan anggota dewan sebagian besar didasarkan pada nilai pribadinya.

Dia mengungkapkan, agama merupakan sumber penting untuk mengajar dan membentuk nilai-nilai budata mengenai perbedaan gender di tempat kerja, yang sering kali menjadi dasar untuk menentukan peran gender yang sesuai secara sosial.

Secara keseluruhan, penelitian itu menemukan, masyarakat yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan yang setara, mendorong kontribusi perempuan dan menghargai kerja keras dan otonomi individu, kesenjangan upahnya lebih kecil. Namun hal itu terjadi sebaliknya, di negara-negara dengan agama dominan yang lebih dogmatis dan toleransi lebih besar terhadap korupsi dan penyuapan institusional.

Negara ini juga disebut-sebut lebih cenderung mencerminkan sikap superioritas laki-laki, sebagaimana dibuktikan dengan kepatuhan terhadap peran gender yang lebih tradisional dan meningkatnya penerimaan kekerasan perempuan.

“Sikap misoginis berkontribusi pada kesenjangan upah yang lebih besar, bahkan untuk perempuan di eselon atas dalam angkatan kerja. Memahami mengapa ada perbedaaan gaji dan menentukan resep untuk memperbaiki kesenjangan ini tidak hanya menguntungkan perempuan, tetapi juga perusahaan dan masyarakat tempat mereka bekerja.,” jelas Minnick.