PBB menjelaskan anak perempuan yang menjalankan sunat menghadapi komplikasi jangka pendek seperti sakit parah, syok, pendarahan berlebihan, infeksi, serta kesulitan buang air kecil. Sedangkan, untuk jangka panjangnya, itu berpengaruh bagi kesehatan seksual dan reproduksi serta kesehatan mentalnya.
BARISAN.CO – Hari Internasional Tanpa Toleransi untuk Mutilasi Alat Kelamin Perempuan, bagian dari kampanye Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan setiap 6 Februari agar mutilasi alat kelamin pada anak perempuan dan perempuan dihentikan.
Sejak tahun 2003, setiap tanggal 6 Februari, PBB terus berjuang melawan praktik ini melalui berbagai kegiatan selain sebagai hari peringatan.
PBB menjelaskan anak perempuan yang menjalankan sunat menghadapi komplikasi jangka pendek seperti sakit parah, syok, pendarahan berlebihan, infeksi, serta kesulitan buang air kecil. Sedangkan, untuk jangka panjangnya, itu berpengaruh bagi kesehatan seksual dan reproduksi serta kesehatan mentalnya.
Pada tahun lalu, pandemi berdampak negatif dan tidak proposional yang menyebabkan bayang-bayang target SDG 5.3 tentang penghapusan semua praktik berbahaya termasuk sunat alat kelamin perempuan bisa saja terganggu.
Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB, United Nations Population Fund (UNFPA) memperkirakan 2 juta perempuan diproyeksi berisiko mengalami mutilasi alat kelamin di tahun 2030. Menanggapi gangguan tersebut, PBB melalui program bersama dengan UNFPA-UNICEF telah mengadaptasi intervensi yang memastikan integrasi sunat perempuan bagi kemanusiaan dan paska krisis.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 120 hingga 140 juta perempuan dan 3 juta anak perempuan setiap tahunnya berisiko menjadi sasaran. Praktik ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius bahkan dapat berujung kematian.
Tarik Ulur Larangan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia
Praktik ini menjadi salah satu bentuk diskrimasi paling ekstrim dan berbahaya. Di Indonesia, sunat perempuan secara turun-menurun yang terus dilakukan.
Pemerintah memperkirakan sekitar 50 persen anak perempuan di bawah usia 11 tahun menjalani praktik ini. Beberapa rumah sakit di Indonesia bahkan menawarkan sebagai bagian dari paket melahirkan.
Di tahun 2006, pemerintah telah melarang praktik sunat ini, namun karena tekanan kelompok agama, upaya tersebut diundur.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun itu mengeluarkan fatwa yang menerangkan sunat pada perempuan tetap bisa dilakukan jika orang tua bayi meminta catatan keamanan baik secara fisik atau pun psikologi bayi.
Selang empat tahun kemudian, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 1636 tahun 2010 tentang tata laksana sunat pada perempuan. Sebab, dalam praktiknya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum adanya bukti manfaat bagi kesehatan, maka di tahun 2014, Menteri Kesehatan mencabut aturan tersebut.