“Lagipula ASEAN sudah memiliki ASEAN Commission on The Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) di Sekretariat ASEAN, Jakarta. Tetapi peran lembaga tersebut di ASEAN masih marginal. Padahal di masa pendemi sekarang, perempuan sudah diakui oleh dunia internasional sebagai sosok yang memikul beban lebih banyak di rumah tangga, dari soal pendidikan anak sampai pada urusan lainnya di masa pandemi covid 19,“ terang Atnike.
“Indonesia juga sedang di assessment perihal kebijakan anti diskriminasi terhadap perempuan yang dilaksanakan oleh PBB di bawah shadow committee. hal itu merupakan satu agenda politik luar negeri yang perlu mendapat perhatian,” lanjutnya.
Atnike juga menyoroti bahwa saat ini ILO sedang mendorong negara-negara anggota ILO agar meratifikasi ketentuan no: 190 tahun 2019 tentang Pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. “Hal itu juga perlu mendapat perhatian dalam politik diplomasi luar negeri Indonesia. Terlebih Indonesia negara yang memiliki banyak pekerja migran perempuan yang sering mengalami kekerasan di luar negeri.“ katanya.
Ia juga menyatakan bahwa secara umum isu perempuan dalam politik diplomasi luar negeri masih sangat marginal. Meski di negara-negara lain juga ada yang masih marginal, tetapi ada negara-negara yang sudah lebih maju dalam politik luar negeri terkait isu perempuan.
Ahmad Qisa’i, Ph.D. dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, menyatakan bahwa terkait politik dan diplomasi Indonesia dalam hubungan dengan dokumen Sustainable Development Goals (SDGs) dunia, satu hal penting adalah terkait pembiayaan pembangunan, baik berasal dari domestik ataupun dunia internasional.
“Meski kebijakan SDGs domestic selalu disampaikan dengan baik di forum internasional, tetapi fakta domestik ihwal isu pembiayaan pembangunan ada PR besar yang harus diselesaikan,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa pada point 16,4 tentang Pemulihan Aset, pada RPJMN jelas disebut soal pemanfaatan pemulihan asset sebagai strategi pencegahan korupsi, tapi faktanya pada uraian tahun 2022 soal RUU pemulihan asset menjadi hilang.
“Terkesan tidak ada keseriusan pemerintah dalam memanfaatkan instrument domestik ini dalam mengakses sumber daya yang disembunyikan oleh para koruptor di luar negeri,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa harus ada instrument hukum domestik yang mutlak diperlukan dalam strategi pemulihan asset. “KUHP tidak cukup kuat karena belum sepenuhnya spesifik jika bicara masalah pemulihan asset. Instrumen hukum global telah diratifikasi tentang Asset Recovey, tetapi belum ada instrument hukum domestik yang mendukung ke arah itu,” katanya.