Scroll untuk baca artikel
Blog

Dinamika Dakwah di Era Metaverse

Redaksi
×

Dinamika Dakwah di Era Metaverse

Sebarkan artikel ini

Sementara masih banyak dai dan daiyah belum mampu memanfaatkan dan menggunakan teknologi digital secara maksimal dan massif, kini sudah hadir era metaverse. Secara prinsip dan mendasar, kehadiran era metaverse akan mampu mentransformasikan atau tepatnya memindahkan  segala akivitas manusia dari dunia nyata ke dunia virtual (metaverse) atau sebaliknya, dan itu sangat mudah dilakukan sepanjang menguasai teknologinya.

Di era digital saat ini yang barbarengan dengan era pandemi Covid-19, sarana pendidikan atau perkantoran, berpotensi menjadi berkurang peranannya. Atau tidak-tidaknya dialihkan dan digantikan dengan cara bekerja atau beraktivitas dari rumah (work or learning of home) berbasis internet. Di era metaverse, lebih dari itu, sangat memungkinkan untuk dilakukan, termasuk untuk kepentingan dakwah dan diseminasi ajaran Islam.

Positifnya memungkinkan media dakwah makin variatif dan proses dakwah  lebih canggih, nyaman, menyenangkan, terasa interaktif dan hidup, dan sebagainya.  Presedennya sudah dibuktikan saat ini dimana banyak kaum milemial keranjingan dengan game on line. Jika era metaverse mampu diisi dengan aktivitas dakwah, berpeluang terjadi booming. Dengan catatan,  manakala dai atau daiyah memahami dan mampu mengoperasikan platform metaverse dengan konten dakwah yang menarik.

Negatifnya dakwah berpotensi akan menjadi kering kerontang. Ikatan batin antara dai dengan jamaah (objek dakwah) di dunia nyata bisa berkurang, atau bahkan sama sekali tidak diperoleh.  Sebab mereka hanya bertemu di metaverse dengan bentuk avatarnya masing-masing, dengan menggunakan kaca mata oculus sebagai instrumennya.  Disini dakwah berpotensi benar-benar menjadi tontonan dan hiburan daripada tuntunan dan anutan.

Avatar sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai sebagai gambar tiga dimensi yang digunakan untuk menggambarkan seseorang dalam dunia maya. Dalam agama Hindu, kata Avatar atau Awatara berarti inkarnasi dari Roh Keilahian yang datang ke bumi untuk menegakkan kebenaran. Dalam praktik di media sosial, avatar sebagai pengganti gambar profil yang sebenarnya. Gambar profil adalah grafik tersendiri yang mewakili identitas pemegang profil.

Sedangkan kaca mata oculus  merupakan perangkat Virtual Reality (VR) yang dipakai di kepala. Saat bermain Anda akan langsung dibawa ke dalam dunianya. Oculus Rift (OR) menyajikan sudut pandang 360 derajat karena dua layar yang langsung membidik kedua mata penggunanya. Dengan  kaca mata oculus bisa membawa kita (seolah-olah) masuk ke dalam sebuah ruang virtual. Didukung Augmented Reality, akan  menambah informasi maupun konten digital ke dunia nyata.

Ketua Kordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta KH. Jamaluddin F. Hasyim membocorkan sedikit problematik kehadiran era metaverse  dengan narasi sebagai berikut:

Seluruh bidang kehidupan, sosial, ekonomi, politik, pendidikan bahkan agama bisa terdampak. Arab Saudi sudah mengumumkan membangun Ka’bah di metaverse, entah apakah nanti ibadah haji cukup di rumah dengan alat VR? Akan banyak persoalan yang membutuhkan jawaban keagamaan disana, seperti ibadah haji/umroh tadi, lalu sholat yang dikerjakan oleh avatar, atau sebaliknya apakah maksiat yang dilakukan Avatar dihukumi haram juga. Terminologi “perbuatan mukallaf”  (af’alul mukallafin) dalam fiqih apakah akan ditinjau ulang sejauh menyangkut Avatar seseoran”.

Apa yang Harus Dilakukan?

Sebagai kelanjutan dari perkembangan teknologi berbasis internet yang bisa berfikir atau robotik (internet of think) dengan avatar dan kaca mata oculus sebagai intsrtumen untuk dapat mengakses dan masuk ke  dunia metaverse,  kedua instrumen tersebut secara prinsip tidak bisa menggantikan manusia. Karena ibadah shalat manusia misalnya, tidak bisa digantikan dengan avatar. Selain itu, subyek dan objek dakwah adalah manusia (pisik dan non pisik), bukan robot atau artifisial (rekaan).