Scroll untuk baca artikel
Blog

Dipecat – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Dipecat – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

“Jawaban ustad Kandar bagaimana?” tanya balik Faisal dengan mata terbelalak kaget.  Ia benar-benar tidak menyangka kalau ternyata dewan pengawas takmir masjid sudah melayangkan teguran hingga 3 kali berturut-turut.  Itu artinya masalah ini sudah sedemikian gawatnya.

“Jawabnya, aku tak peduli.  Menurutku caraku ini lebih baik ketimbang memberi makanan untuk berbuka bersama di masjid itu!” jawab Usman.  Nada bicaranya terdengar bergetar menahan kegeraman.

“Ya sudah!  Tak ada cara lain kecuali memecatnya!” ucap Faisal mengakhiri pertemuan sore itu.  Mendengar kalimat terakhir ini, jamaah yang sore itu mengadu terlihat lega raut mukanya.  Dan sedetik kemudian dari pengeras suara masjid yang volumenya over dosisi itu telah terdengar suara adzan Maghrib.  Bergegas tamu-tamu Faisal segera berpamitan dan berhambur ke masjid untuk berjamaah.

Dan sebagaimana yang sudah direncanakan, malam itu sidang atas kekisruhan yang dijalari oleh perilaku ustad Kandarpun digelar. Sidang jamaah yang dipimpin langsung oleh ketua penasehat Takmir masjid Assalam sepakat memecat ustad Kandar sebagai imam sekaligus ketua takmir masjid. 

Tidak hanya itu saja ustad Kandar dilarang menjadi imam sholat, muadzin dan sekaligus mengisi pengajian.  Bahkan tidak hanya itu saja, ustad Kandar harus segera mengosongkan rumah dinas ketua takmir. 

Bisaroh bulanannya juga dihentikan.  Dan sebagaimana yang sudah diduga sebelumnya, ustad Kandar menerima begitu saja segala sanksi yang diberikan padanya.  Semula istri ustad Kandar merasa keputusan memecat suaminya adalah ketidakadilan dan kedzaliman, tetapi setelah mendengar penjelasan dari suaminya sendiri, perempuan yang dikarunia 5 orang anak itupun akhirnya berbalik mendukung suaminya yang telah dianggap keblinger oleh jamaah dan warga kampung.

Mendengar penerimaan ustad Kandar dan keluarganya yang sedemikian itu, suasana forum sidang sontak seperti berbalik arah.  Jamaah terheranheran mengapa ustad kandar seperti tak ingin membela diri barang sepatah katapun.  Emak-emak yang semula paling ngotot agar ustad Kandar dipecat mendadak seperti kerbau yang lupa jalan pulang ke kandang.  Demikian pula dengan anggota takmir masjid yang kehadirannya di masjid bisa dihitung dengan jari.

“Apakah ustad kandar memahami keputusan rapat jamaah ini?” ucap ketua penasehat takmir sembari menghela nafas panjang.  Lelaki yang sudah berusia lanjut itupun tidak menduga jika ustad Kandar begitu pasrah dan tak membela diri sepatahkatapun.

“Dengan sepenuh kesadaran Saya sangat memahami dan menerima keputusan pemecatan ini dengan lapang dada sekaligus menerima segala konsekuensinya,” jawab Kandar yang selanjutnya juga tidak ingin dipangggil lagi dengan sebutan ustad.  Selanjutnya ia ingin dipanggil Kandar begitu saja.

“Apakah ustad eh maksudn Saya Pak Kandar ingin menyampaikan sesuatu kepada kami dan para jamaahyang hadir di sini?” tanya kembali ketua penasehat takmir dengan hati-hati.  Dalam hati lelaki tua itu sungguh sangat ingin mendengar langsung sekaligus penasaran dengan alasan Kandar melarang menghidangkan makanan untuk berbuka puasa di masjid itu.

“Kalau memang diperbolehkan Saya akan mengatakan sesuatu.  Ini bukan pembelaan Saya tetapi hanya sekedar berbagi pemikiran,” jawab Kandar dengan rendah hati sambil memperhatikan satu per satu raut wajah peserta yang hadir di sidang tersebut.  Dan setiap orang yang dipandang oleh Kandar memberi isyarat agar Kandar segera saja menyampaikan pemikirannya.  Sejenak suasana menjadi senyap.  Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri-sendiri sembari menunggu omongan Kandar.  Kandarpun terlihat terdiam.  Mungkin ia juga disergap kebingungan hendak darimana memulainya.