“Terus apa istimewanya memberikan hidangan untuk berbuka bagi mereka yang menyengaja berpuasa, punya makanan untuk berbuka, berniat untuk berbuka sekaligus merencanakan berbukanya?” sambung Kandar sedikit bergetar menahan perasaannya. Lagi-lagi jamaah terdiam dan manggut-manggut.
“Sekarang marilah kita lihat keseharian Mbok Jebrak yang sudah pikun dan hidup sebatang kara, Pak Yos yang hanya buruh serabutan meski beragama nasrani itu serta Jimin dan Sabri yang sejak dilahirkan sudah cacat. Makan sehari 2 kali saja belum tentu. Apalagi punya cadangan makanan untuk sehari besok,” sambung Kandar kembali masih dengan kalimatnya yang bergetar menahan perasaannya. Mendadak suasana menjadi tegang. Suara Kandar yang terbata-bata membuat jamaah seperti menahan nafas. Lama suasana menjadi sunyi. Masing-masing larut kembali dalam kecamuk pikirannya sendiri-sendiri.
“Orang-orang yang Saya sebutkan tadi hakekatnya telah berpuasa dalam kesehariannya. Bahkan berpuasanya tanpa niatan untuk berbuka apalagi merencanakan berbuka dengan apa. Karena rejeki yang didapat hari ini saja belum tentu. Berbeda jauh dengan puasa kita tentunya”
“Mereka yang Saya sebutkan tadi menahan lapar dan dahaga bukan karena menyengaja tetapi karena memang dipaksa oleh keadaan. Memberi hidangan makanan berbuka untuk orang yang seperti itulah pahalanya sangat besar sekali. Bukan sebaliknya!” ucap Kandar tanpa bisa menahan tangis kesedihannya.
“Lalu apakah karena Pak Yos yang nasrani itu lantas kita boleh abaikan? Dimana rahmatan lil alamiin yang sering kita gembar-gemborkan itu?” Lagi-lagi kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulut Kandar seperti bercampur dengan kepedihan.
“Itulah maksud Saya tentang sebaiknya kita pikirkan saja makanan mereka-mereka yang puasa karena dipaksa oleh keadaan itu. Bukan malah memikirkan berbukanya orang-orang yang menyengaja berpuasa sekaligus telah berniat dan merencanakan berbuka,” Kalimat terakhir ini sontak telah membuat jamaah seperti tersentak dari lamunan panjangnya.
Terlihat wajah mereka saling pandang. Nabila dan Bariyah tak dapat lagi menahan tangisnya. Kedua perempuan itu seperti terguncang jiwanya. Demikian pula dengan Sukur, Fajar dan Usman. Hanya Faisal saja yang masih terlihat tenang. Japar, lelaki yang pertama kali mengusulkan pemecatan Kandar lebih dahulu sesenggukan. Berkali-kali ia menyeka air mata yang meleleri pipinya.