Scroll untuk baca artikel
Kolom

Dongeng Kumpeni

Redaksi
×

Dongeng Kumpeni

Sebarkan artikel ini

Satu dua dekade setelah merdeka, ternyata kumpeni tidak benar-benar pergi dari wilayah nusantara. Mereka masih ada, berdagang dengan aktif. Memang tak ada VOC (korporasi kumpeni) dan bukan pula sebagai negara penjajah. Etnis dan negara bangsa sebagai representasi kumpeni bertambah.

Resminya kembali ke suasana awal berabad sebelumnya, yakni berdagang secara sukarela. Kumpeni kali ini tidak hanya “kulakan” barang, melainkan juga menjual. Secara statistik menjadi data ekspor dan impor terhadap negara Indonesia.

Faktanya kemudian, “kumpeni baru” memperoleh untung yang lebih besar. Mereka menjual motor, mobil, TV dan semacamnya. Mereka membeli minyak, mineral, hasil pertanian, dan lainnya. Istilah teknis ekonominya, tercipta nilai tukar yang menguntungkan kumpeni.

Perkembangan ekonomi dunia dan model transaksi bertahun-tahun kemudian, membawa kumpeni memiliki jenis bisnis baru. Yaitu memberi utang kepada berbagai pihak di Indonesia, terutama kepada pemerintah. Investasi dan bisnis utang ternyata sangat menguntungkan.

Mereka tentu tidak ingin investasi besar dan keuntungannya lenyap akibat hiruk politik Indonesia. Sebagaimana dahulu, perlahan kumpeni “berpartisipasi” dalam dinamika sosial politik domestik untuk mengamankannya. Bahkan, ada yang berpendapat telah berupa ikut campur sangat jauh.

Selama satu dekade terakhir tampaknya kumpeni kembali tertarik masuk lebih dalam ke berbagai wilayah dan “ruang hidup” Indonesia. Mereka tak hanya ingin migas, mineral, energi dan semua produksi modern. Melainkan juga ingin menanam buah, budidaya ikan, bisnis jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan lain sebagainya.

Agar ada jaminan untung yang langgeng, tidak cukup dengan “mempengaruhi” dinamika sosial, hukum dan politik saja. Kumpeni mengamankan kepentingan bisnis dan rencana bisnis masa depannya, dengan turut mengatur ketersedian jalan, pelabuhan, bandara dan semacamnya.

Dibanding era penjajahan dahulu, ada yang sedikit berubah, yaitu peran ilmu pengetahuan dan para akademisi tukangnya. Termasuk ahli ilmu ekonomi dari kalangan pribumi. Mereka membantu menjelaskan secara ilmiah bahwa investasi asing dan berutang merupakan syarat agar Indonesia bisa tumbuh dan berkembang.

Dongeng semacam itu dapat dibumbui dengan menyebut secara langsung pelakunya. Misal dahulu sempat ada Portugis, kemudian Belanda, lalu Jepang. Nah kini, setelah sekian lama kumpeni dari benua Barat memperoleh saingan dari Tiongkok dan Korea. Peran Singapore sebagai perantara atau makelar utama pun memberi warna tersendiri.