Scroll untuk baca artikel
Kolom

Dongeng Kumpeni

Redaksi
×

Dongeng Kumpeni

Sebarkan artikel ini

Mereka tentu tidak ingin investasi besar dan keuntungannya lenyap akibat hiruk politik Indonesia. Sebagaimana dahulu, perlahan kumpeni “berpartisipasi” dalam dinamika sosial politik domestik untuk mengamankannya. Bahkan, ada yang berpendapat telah berupa ikut campur sangat jauh.

Selama satu dekade terakhir tampaknya kumpeni kembali tertarik masuk lebih dalam ke berbagai wilayah dan “ruang hidup” Indonesia. Mereka tak hanya ingin migas, mineral, energi dan semua produksi modern. Melainkan juga ingin menanam buah, budidaya ikan, bisnis jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan lain sebagainya.

Agar ada jaminan untung yang langgeng, tidak cukup dengan “mempengaruhi” dinamika sosial, hukum dan politik saja. Kumpeni mengamankan kepentingan bisnis dan rencana bisnis masa depannya, dengan turut mengatur ketersedian jalan, pelabuhan, bandara dan semacamnya.

Dibanding era penjajahan dahulu, ada yang sedikit berubah, yaitu peran ilmu pengetahuan dan para akademisi tukangnya. Termasuk ahli ilmu ekonomi dari kalangan pribumi. Mereka membantu menjelaskan secara ilmiah bahwa investasi asing dan berutang merupakan syarat agar Indonesia bisa tumbuh dan berkembang.

Dongeng semacam itu dapat dibumbui dengan menyebut secara langsung pelakunya. Misal dahulu sempat ada Portugis, kemudian Belanda, lalu Jepang. Nah kini, setelah sekian lama kumpeni dari benua Barat memperoleh saingan dari Tiongkok dan Korea. Peran Singapore sebagai perantara atau makelar utama pun memberi warna tersendiri. 

Lantas, apa kita mau menyalahkan para kumpeni, terlepas dari apapun bangsa dan negaranya? Mereka memang berupaya mencari keuntungan dan menyejahterakan rakyatnya sendiri.

Mesti diingat bahwa Indonesia merdeka dahulu tidak dengan jalan mengemis kepada kumpeni, meski ada diplomasi dan perundingan. Oleh karena kondisi kini lebih kompleks, maka kerja keras dan kerja cerdas amat diperlukan. Pemimpin politik, petinggi otoritas ekonomi, dan pelaku usaha utama mustinya bisa “memimpin” dan mengarahkan rakyat dan bangsa ini. Sekurangnya, bernegosiasi sebagai suatu bangsa untuk dapat menikmati kemakmuran dunia bersama-sama. Jangan kumpeni saja lah yang sejahtera.

Perlu diingat, salah satu yang mempersulit kemerdekaan adalah keberadaan amtenar dan antek kumpeni dari bangsa sendiri. Tampak demikian pula kondisinya saat ini. [rif]