Dalam hal pelunasan pokok utang, beban utang juga makin terasa memberatkan seiring dengan jatuh temponya sebagian utang yang ditarik pada era Soeharto. Pelunasan tidak mungkin bersumber dari pendapatan, karena untuk belanja pun tidak mencukupi. Pilihan yang tersedia adalah menjual aset dan privatisasi (saham) perusahaan milik negara, serta berutang lagi.
Pada era Gus Dur dan Megawati, Pemerintah masih memiliki banyak aset yang berasal dari program restrukturisasi perbankan. Perbankan peserta program BLBI dan restrukturisasi ditalangi utang dan kewajibannya, namun diambil alih aset-aset hingga kepemilikan perusahaan. Tanah dan bangunan termasuk dalam jenis aset dimaksud.
Sederhananya, Pemerintah dengan bantuan Bank Indonesia mengambil alih sebagian besar utang dan aset perbankan. Akibat hal ini, utang pemerintah membengkak, namun memiliki banyak aset dan saham kepemilikan. Sayangnya, setelah bertahun-tahun kemudian baru diketahui secara pasti bahwa nilai sitaan jauh lebih rendah dari dana yang bersumber dari utang pemerintah.
Bagaimanapun, nilai yang bisa dijual dan diprivatisasi masih cukup besar. Prosesnya berlangsung selama bertahun-tahun. Penjualan aset terbesar dilakukan pada era Gus Dur dan Megawati. Secara lebih khusus, era Megawati yang terbesar dalam menerima hasil privatisasi.
Meski demikian, penerimaan pemerintah masih belum mencukupi untuk menutupi pengeluarannya. Harus diingat, pengeluaran dimaksud mencakup belanja dan membayar pelunasan pokok utang.
Akibatnya upaya berutang atau penarikan utang baru tetap dilakukan. Pada era Gus Dur belum mengandalkan cara berutang dengan penerbitan surat utang, hanya dari penarikan pinjaman luar negeri. Pada era Megawati, kedua cara berutang dilakukan.
Salah satu yang menarik adalah fenomena hubungan IMF dan Indonesia pada era pemerintahan Gus Dur yang tampak memburuk. IMF menunda pencairan dana utang akibat belum tuntasnya revisi sejumlah Undang-Undang. Diantaranya tentang bank sentral, otonomi daerah, serta revisi APBN 2001.
Dari lima bagian tulisan yang telah dikisahkan, beberapa hal bisa dikatakan dalam bahasa awam tentang fenomena utang pemerintah Indonesia. Pada era Soekarno, terpaksan berutang karena kesulitan pangan dan infrastruktur. Pada era Soeharto, mulai membangun secara besar-besaran, terus berutang. Masih pada era Soeharto, ketika sempat cukup kaya karena rezeki minyak, tetap berutang, agar kaya raya di kemudian hari. Pada era Habibie, Gus Dur, Megawati, masih terpaksa berutang untuk membiayai pemulihan krisis ekonomi. [rif]