Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Gus Baha: Dua Model Umat Islam Menyikapi Keadaan

Redaksi
×

Gus Baha: Dua Model Umat Islam Menyikapi Keadaan

Sebarkan artikel ini

DUA TIPE

Oleh: Supardi Kafha


Barisan.co – Bahaudin Nur Salim (Gus Baha) menuturkan, ada dua model umat Islam dalam menyikapi keadaan, sebagaimana teladan dari Sayid Hasan dan Sayid Husein.

Hasan dan Husein merupakan keturunan Nabi saw lewat jalur Fatimah ra. Kita tahu bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah, putri Nabi saw setahun setelah hijrah ke Madinah. Sayidina Ali berusia 20 tahun, sedang Sayidah Fatimah berusia 15 tahun. Nah, dua cucu Nabi saw tersebut menjadi simbol: kompromi demi kebaikan umat, dan berani mati demi kebenaran.

Sayid Hasan memilih jalur kompromi ketika berhadapan dengan Muawiyah, supaya tak jatuh korban sia-sia. Hasan, yang oleh sebagian umat Islam, didorong untuk menggantikan ayahnya, Sayidina Ali, menjadi khalifah.

Namun, hak beliau untuk menjadi khalifah itu diserahkan pada Muawiyah, yang memang bernafsu untuk berkuasa usai melawan pemerintahan sah Sayidina Ali. Alhasil, pada era tersebut kepemimpinan Islam tunggal dipegang oleh Muawiyah yang kemudian dikenal dengan Bani Umayyah, yang berpusat di Damasyik di Syiria.

Kita baca sejarah, kepemimpinan Muawiyah berikut Yazid itu berbeda dengan tradisi Khulafaur Rasyidin. Masa kepemimpinan empat sahabat utama Nabi saw tersebut tercatat sebagai puncak kegemilangan Islam. Namun begitu beralih kekuasaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah, mulai tahun 661, adalah peralihan bentuk pemerintahan, dalam khazanah modern bisa dibilang demokrasi, berbasis kecakapan memimpin menjadi sistem kekhalifahan monarki. Dan, peralihan sistem itu pun melalui tragedi berdarah. Syahdan, Muawiyah memimpin kekuasaan yang entah tak jelas mandat dari mana atau siapa.

Sayid Hasan berhitung, meski pemerintahan Muawiyah itu buruk dan ilegal, jika dilawan akan sama artinya dengan pertumpahan darah sesama umat. Beliau takut berdarah-darah yang bakal mendera umat Islam. Oleh karenanya, beliau memilih berkompromi dengan Muawiyah.

Berbeda Sayid Husein. Beliau memilih untuk mengambil haknya. Beliau berpendirian bahwa pemerintah zalim mesti dilawan. Beliau berkeyakinan bahwa umat harus melakukan perubahan. Umat jangan sampai mendiamkan kemungkaran. Kebenaran harus diomongkan terus. Yazid, anak Muawiyah, tidak terima hingga terjadilah tragedi di padang Karbala, terpenggalnya kepala Sayid Husein oleh pasukan Yazid.

Siapa melihat kezaliman dan tidak mengambil langkah, itu pasti masuk neraka.” Begitu penggalan pidato Sayid Husein sebelum menemu ajal di Karbala, yang dikupas oleh Gus Baha.

Lho penting, maksiat kita omongkan terus.” jelas Gus Baha tentang dakwah yang beribrah Sayid Husein.

“Contoh begini: zina itu akan terus dinilai jorok, itu berkat omongan terus-menerus bahwa anak zina disebut anak jadah (haram). Atau pezina disebut ‘lonthe’. Bayangkan, seumpama istilah (lonthe) itu dikamuflase menjadi ‘wanita harapan’, maka lambat laun tidak akan ada penjorokan atas sesuatu yang jorok sebagai jorok. Nah, ke depan era cucu kita, kemungkinan hukum berubah, karena penghalusan tersebut, yang akhirnya lupa hakikat zina.”

Penghalusan-penghalusan istilah, yang seolah indah dan baik, tapi justru menyesatkan. Seperti “mengakali” kita sebut “seni berdiplomasi”; “membujuk” diperhalus menjadi “seni berpolitik”; dan seterusnya.

Matinya Sayid Husein adalah simbol bahwa siapa saja boleh berani mati demi kebenaran. Sayid Husein menentang kebijakan kakaknya, Sayid Hasan, bahwa yang “haq” adalah “haq”, meski nyawa taruhannya. Sayid Hasan melihat kompromi itu lebih baik ketimbang prahara, lebih membawa maslahat bagi Islam ketimbang tragedi. Berkompromi adalah pilihan demi menjaga persatuan umat.