Scroll untuk baca artikel
Blog

Akankah Gibran Mulus Melangkah?

Redaksi
×

Akankah Gibran Mulus Melangkah?

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Terdapat banyak nama keluarga pejabat, tokoh, petahana, yang maju dalam Pilkada 2020. Nama yang paling teresonansi percakapan publik, Gibran Rakabuming, akan maju sebagai Cawalkot Solo. Gibran yang semula tidak tertarik politik, kini bahkan telah menyingkirkan nama sekuat Achmad Purnomo dari bursa Cawalkot.

Sementara itu, peta politik Solo yang didominasi PDIP membuat sulit bagi partai lain mengusung calon lain. Dari 45 anggota dewan, 30 kursi dipegang oleh PDIP. Sisanya dibagi-bagi: PKS 5 kursi. PAN, Golkar, dan Gerindra masing-masing 3 kursi. Satu kursi milik PSI. Dalam pada itu, Gibran disebut akan melawan kotak kosong.

Namun, hal itu segera ditampik anggota DPRD FPAN Solo HM Al-Amin. “Gibran mustahil melawan kotak kosong. Ada satu paslon independen yang akan diloloskan oleh KPU. Dan saat ini sudah memasuki verifikasi faktual tahap kedua.” Kata Al-Amin dalam acara Mimbar Virtual barisan.co dengan tema dinasti politik, Selasa, 28 Juli 2020.

Pasangan dari jalur independen itu, Bagyo Wahyono-Fx Supardjo (alias Bajo), sudah memenuhi perbaikan dokumen untuk maju ke Pilkada Solo 2020.

“Sejak setahun lalu telah dibuka pendaftaran bakal pasangan calon jalur independen. Ada dua bakal pasangan yang muncul. Yang dinyatakan lolos administrasi adalah pasangan Bajo.” Kata Al-Amin.

Secara umum, pencalonan Gibran menuai banyak kontroversi. Khususnya dalam perpolitikan Jawa, di mana seseorang acapkali diukur bibit, bebet, bobot-nya. Pencalonan Gibran, atas dasar itu, dianggap tidak terkualifikasi penilaian yang utuh.

Bibit Gibran sebagai putra mahkota presiden adalah satu soal. Tapi, proses dan kualitas adalah hal yang juga perlu ditimbang. Daripada Gibran, banyak pihak menganggap Achmad Purnomo lebih layak mendapat rekomendasi partai. Di saat yang sama, tersingkirnya Achmad Purnomo menunjukkan asas meritokrasi tidak dijalankan dengan baik oleh parpol.

“Sedang terjadi krisis perkaderan di partai politik. Namun, jangan sampai krisis kader dijawab dengan cara instan seperti politik dinasti.” Kata Al-Amin. “Walaupun kita tahu adalah hak siapapun untuk memilih dan dipilih, saya sebagai rakyat berharap ada aturan main tentang dinasti. Yaitu kapan anak, menantu, atau kerabat boleh merintis jalur politik ini.” Lanjutnya.

Investor di Balik Dinasti

Senada dengan Al-Amin, di kesempatan yang sama, akademisi Universitas Wiraraja Dr. Mohammad Hidayaturrahman mengatakan, ada persoalan etika yang belum selesai dalam perpolitikan di Indonesia.

“Di satu sisi, ada hak politik Mas Gibran yang perlu kita apresiasi. Kita memiliki kebebasan dan hak yang sama dalam hal ekspresi politik. Tapi ada sisi (etika) yang perlu kita potret, yaitu pertemuan Presiden Jokowi dengan Achmad Purnomo, yang dipertontonkan dan difestivalisasi di Istana. Ini cukup menganggu.” Katanya.

Jelas pertemuan di istana itu membicarakan politik: siapa mendapatkan apa. Terutama terkait zero sum game bagi Achmad Purnomo, yakni, ‘kompensasi’ apa yang akan ia dapat tatkala tidak mencalonkan diri.

Dalam konteks praktis, memang Pilkada Solo tidak lepas dari elit politik. Tentu ada pula kepentingan modal yang bekerja di baliknya. Dan menurut Dr. Mohammad Hidayaturrahman, hal demikian hampir pasti melatar belakangi proses pencalonan kepala daerah.

“Di Lampung, ada satu perusahaan mengatur kandidasi kepala daerah … Di satu Kabupaten di Madura, ada investor all out mendukung calon tertentu karena ingin mengelola sumber daya migas. Dalam temuan saya, sejatinya ekonomi dan politik tidak terpisahkan. Yang mungkin menarik ditanyakan adalah, apa kepentingan investor terhadap kota Solo dalam konteks penguasaan ekonomi di daerah.”