“Contoh begini: zina itu akan terus dinilai jorok, itu berkat omongan terus-menerus bahwa anak zina disebut anak jadah (haram). Atau pezina disebut ‘lonthe’. Bayangkan, seumpama istilah (lonthe) itu dikamuflase menjadi ‘wanita harapan’, maka lambat laun tidak akan ada penjorokan atas sesuatu yang jorok sebagai jorok. Nah, ke depan era cucu kita, kemungkinan hukum berubah, karena penghalusan tersebut, yang akhirnya lupa hakikat zina.”
Penghalusan-penghalusan istilah, yang seolah indah dan baik, tapi justru menyesatkan. Seperti “mengakali” kita sebut “seni berdiplomasi”; “membujuk” diperhalus menjadi “seni berpolitik”; dan seterusnya.
Matinya Sayid Husein adalah simbol bahwa siapa saja boleh berani mati demi kebenaran. Sayid Husein menentang kebijakan kakaknya, Sayid Hasan, bahwa yang “haq” adalah “haq”, meski nyawa taruhannya. Sayid Hasan melihat kompromi itu lebih baik ketimbang prahara, lebih membawa maslahat bagi Islam ketimbang tragedi. Berkompromi adalah pilihan demi menjaga persatuan umat.
“Mungkin Muawiyah yang salah, dan yang berhak itu saya. Namun, karena saya ingin umat ini baik-baik saja, dan menjaga umat dari pertumpahan darah, maka hak khalifah saya serahkan kepada Muawiyah.” Pidato Sayid Hasan.
Berkat pilihan beliau, tahun-tahun itu disebut tahun persatuan. Sebab pemerintahan Sayid Hasan total dihapuskan, dilebur menjadi satu dengan kekuasaan Muawiyah. Sekira tak bergabung, akan terbit kubu-kubuan. Kubu Hasan bertempur dengan kubu Muawiyah. Dan, yang demikian sungguh tak diinginkan oleh cucu nabi yang sedemikian lembut itu.
“Nah, yang diikuti oleh kiai-kiai Indonesia itu Sayid Hasan!” terang Gus Baha.
Memang demikian faktanya. Umumnya ulama atau kiai banyak yang lahir dari rahim Muhammadiyah atau NU. Kita mafhum, organisasi masa Islam yang terbukti menjaga persatuan umat adalah Muhammadiyah dan NU. Keduanya menjadi arus utama pola keberislaman moderat, pilihan yang dulu diambil oleh Sayid Hasan. Tidak ekstrem.
Begitulah, dua simbol kebenaran yang sama-sama dibutuhkan umat. Sayid Hasan memilih kompromi demi kestabilan umat Islam. Sayid Husein memilih mati demi tegaknya kebenaran. Kedua beliau itu adalah wajah “wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin”, dan hidupku serta matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seluruh alam. Hidup dan mati demi Tuhan.
Ungaran, 27/07/2020; 17. 56
Editor: Lukni