Namun, UEA tetap menduduki pelabuhan Balhaz untuk mencegah satu-satunya pabrik gas alam cair Yaman dibuka kembali. UEA juga mempertahankan kendali atas bandara Al Rayan Hadramaut sebagai penjara dan kompleks penyiksaan.
Bukan itu saja, UEA juga memberikan dukungan kepada Dewan Transisi Selatan (STC) sebagai investasi.
Secara agresif, UEA juga memperluas jaringan militernya dengan membangun pangkalan di Eritrea dan Libya, serta pulau Socotra Yaman dalam upayanya melampaui wilayah yang terbatas di Teluk Persia.
April lalu, Presiden Yaman diasingkan ketika upaya internasional dan regional untuk mengakhiri perang saudara itu dengan gencatan senjata selama dua bulan. Ini menjadi gencatan skala nasional pertama dalam beberapa tahun terakhir.
UEA pun menyambut baik gencatan senjata itu. Arab Saudi dan UEA menjanjikan Yaman bantuan sebesar US$3miliar.
Pada akhir 2021, PBB memperkirakan jumlah korban tewas akibat konflik di Yaman mencapai 377.000 jiwa, termasuk yang tewas sebagai akibat langsung atau pun tidak langsung. Dalam laporan yang diterbitkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), 70 persen dari jumlah korban tewas itu adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Situasi di sana digambarkan PBB sebagai bencana kemanusiaan terburuk di dunia. Jutaan orang berjuang di ambang kelaparan dan setidaknya 15,6 juta jiwa hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Laporan itu juga menemukan, di tahun 2030 diperkirakan 9,2 juta orang akan kekurangan gizi dan jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem akan mencapai 22 juta jiwa atau 65 persen dari jumlah populasi di Yaman.
Sejauh ini, mediasi PBB tidak banyak membuahkan hasil. Banyak ahli menilai, negosiasi akan lebih produktif ketimbang gencatan senjata antara kedua pihak. Dan, semua pihak yang berkonflik dilaporkan telah melanggar hak asasi manusia serta hukum humaniter internasional. [rif]