Scroll untuk baca artikel
Blog

Kegagalan Korsel Memindahkan Ibu Kota Selayaknya Jadi Pelajaran Berharga Indonesia

Redaksi
×

Kegagalan Korsel Memindahkan Ibu Kota Selayaknya Jadi Pelajaran Berharga Indonesia

Sebarkan artikel ini

Memindahkan ibu kota tak seperti membalikkan telapak tangan. Kebutuhan untuk memenuhi kehidupan rakyat miskin dan rentan mestinya menjadi prioritas.

BARISAN.CO – Pemerintah sering kali berdalih bahwa pemindahan ibu kota demi pemerataan dan keadilan di luar pulau Jawa. Akan tetapi, jika melirik angka yang dibutuhkan, membuat publik bertanya, apakah harus sekarang?

Dari total yang dibutuhkan sekitar Rp501 triliun, salah satu sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan biaya pemindahan keluar Aparat Sipil Negara pun (ASN) hingga asisten rumah tangga (ART) ke IKN ditanggung negara. Yang asal muasal dananya berasal dari rakyat.

Pemerintah seharusnya menyeleksi biaya yang perlu dikucurkan saat ini. Terlebih kasus positif Covid-19 terus meningkat.

Memindahkan ibu kota tak seperti membalikkan telapak tangan. Kebutuhan untuk memenuhi kehidupan rakyat miskin dan rentan mestinya menjadi prioritas.

Oleh karena itu belum adanya urgensi untuk memindahkan ibu kota sesegera mungkin patut menjadi pertimbangan. Jangan sampai mega proyek mangkrak terulang.

Kegagalan Korea Selatan Memindahkan Ibu Kota

Di tahun 2012, kota Sejong dijadwalkan menjadi ibu kota administratif baru di Korea Selatan. Sejong masuk bagian rencana sejak tahun 2002 untuk mengalihkan fungsi resmi dari Seoul. Jarak Sejong ke Seoul mencapai 120km.

Mantan presiden Korea Selatan, Roh Moo-hyun kala itu mengegaskan perlunya relokasi untuk mengurangi kepadatan kronis di Seoul, mendistribusikan kembali kekayaan negara, serta mengurangi bahaya pemboman dari Korea Utara.

Mengutip Hankyoreh, belasan tahun yang lalu, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan memutuskan pemindahan ibu kota dari Seoul adalah inkonstitusional. Tahun 2004, MK Korsel membatalkan UU Khusus untuk Pembangunan Ibu Kota Administratif Baru.

Itulah alasan kota Sejong akhirnya dibangun menjadi kota administratif serba guna yang berfokus pada kementerian dan lembaga pemerintah, bukan sebagai ibu kota administratif yang terdiri dari Majelis Nasional dan Gedung Biru. .

Sejak awal, ada perlawanan kuat terhadap gagasan pemindahan ibu kota. Oposisi politik dan keputusan pengadilan konstitusional menentang pemindahan ibu kota yang sah di Seoul.

Melansir Asia Media Centre, Cho dari Universitas Victoria mewancarai 10.000 karyawan dan keluarga yang pindah ke Sejong.

“Awalnya, kota ini belum benar-benar siap dalam hal infrastruktur dan perumaha. Itu adalah bencana bagi banyak orang,” kata Cho.

Cho menyebut selama hari kerja, karyawan tinggal di Sejong dan akhir pekan, mereka kembali ke Seoul untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Seiring berjalannya waktu, Cho menyampaikan kota Sejong berangsur menjadi lebih baik.

“Untuk sementara, mungkin 3-4 tahun, orang terus berpergian. Komunitas pejabat publik sekarang memiliki sekolah yang layak untuk menyekolahkan anak-anak mereka,” lanjut Cho.

Sementara itu, Kepala kelompok sipil, Park Jae-yul mengatakan pemerintah perlu membawa road map menyeluruh untuk relokasi yang didasarkan pada konsesus nasional.

“Setiap upaya untuk memindahkan ibu kota secara bertahap melalui langkah-langkah darurat akan menggagalkan seluruh proyek,” kata Jae-yul.

Begitu pun dengan Indonesia, seharusnya pemerintah tidak perlu gegabah dalam mengambil tindakan saat ini. Sebab, Korsel pun hingga kini belum berhasil memindahkan ibukotanya.

Oleh karena itu belum adanya urgensi untuk memindahkan ibu kota sesegera mungkin patut menjadi pertimbangan. Jangan sampai mega proyek mangkrak terulang. [rif]

Kolom

Nusantara dari Sabang sampai Merauke di era Soekarno