Scroll untuk baca artikel
Blog

Ekonomi Hayati Sebagai Jalan Ketiga Pembangunan Ekonomi Indonesia

Redaksi
×

Ekonomi Hayati Sebagai Jalan Ketiga Pembangunan Ekonomi Indonesia

Sebarkan artikel ini

Karena menggunakan lahan yang sangat luas, “dwitunggal sawit-tambang” ini kemudian banyak mengakibatkan  konflik agraria. Masyarakat lokal sebagai pemangku utama pembangunan kehilangan sumber mata pencahariannya dan juga mengakibatkan marginalisasi masyarakat adat. Musnahnya hutan juga mengakibatkan banyak penduduk yang bergantung kepada hasil hutan kehilangan bahan pangan tradisional mereka.  Ini model pembangunan yang sunguh memakan korban, baik manusia dan juga alam. Konsorsium Pembaharuan Agraria mencatat hingga tahun 2017 terdapat 652.738 kepala keluarga yang terdampak akibat konflik agraria.

Tanpa perlu mengutuk-ngutuk apa yang sudah terjadi dengan rusaknya tata kelola sumber daya alam, Indonesia perlu untuk merubah haluan jalan ekonomi rente sumber daya alam. Indonesia perlu jalan ketiga, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan mengaktivasi atau memanfaatkan ilmu pengetahuan guna meningkatkan nilai sumber daya yang ada dengan jalan  Ekonomi Hayati (bioeconomy). Ekonomi hayati merupakan  jalan ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan hasil pertanian atau perkebunan yang ada dengan memberikan nilai tambah (biomass valorization) dari tiap rantai suplai (value chain), dimana produksi primer sumber daya hayati dikonversi melalui pemrosesan dan mengalami peningkatan nilai dan komersialisasi di pasar (Lewandowski, 2018). Dengan jumlah biomassa yang sangat besar yang dihasilkan dari pertanian dan perkebunan Indonesia sejatinya dapat melewati kecanduan ekploitasi sumber daya alam pimer dan melewati jebakan ekonomi pendapatan menengah (middle income trap). 

Biomassa yang dihasilkan dari produksi pertanian maupun perkebunan saat ini menjadi perhatian negara-negara maju. “Kasta terendah” dari biomasa ini adalah potongan-potongan kecil kayu (wood chips) yang banyak digunakan sebagai bahan bakar, memasak dan juga pembangkit listrik. Sedikit perubahan teknologi kemudian meningkatkan nilai ekonomi dari biomassa  dengan menjadi industri yang lebih bernilai lebih seperti pellet dan arang kayu (wood charcoal), karbon aktif (activated carbon) dengan beberapa produk samping seperti asam cuka (wood vinegar), accetic acid maupun gas sintetis (syngas).

Produk-produk samping biomassa ini dapat ditingkatkan lagi nilainya hingga mencapai “kasta tertinggi” yaitu untuk medis dan kosmetik. Di bidang medis misalnya, Indonesia sangat berpeluang untuk mengembangkan ekonomi hayati dengan memanfaatkan tanaman ganja (cannabis sativa) yang tumbuh subur di Indonesia. Publikasi ilmiah dengan kata kunci “cannabis” atau “cannabinoid” dilihat dari abstrak atau judulnya pada tahun 2019 mencapai 3.500 publikasi dan tahun 2020 ini diperkirakan penelitian tersebut akan lebih banyak lagi. Dengan kekayaan  keanekaragaman hayati yang ada tentunya Indonesia bisa menjadi sentra industri kesehatan (biomedis) bagi dunia.

Pengembangan ekonomi hayati sering sejalan dengan perlunya rekayasa mengenai kilang hayati (biorefinery) dimana kilang hayati ini bisa  melalui proses  termokimia (thermochemical) maupun biokimia (biochemical ) yang selanjutnya dapat   diproses menjadi bahan bakar, energi, biomaterial, bioplastik dan banyak produk lainnya dan ini berkesesuaian dengan prinsip ekonomi sirkular (circular economy)dimana kegiatan ekonomi harus menghemat sumber daya dan energi dan juga meminimalkan dampak lingkungan.  Perancis misalnya telah mengembangkan kilang hayati yang terintegrasi dalam satu kawasan di Champagne-Ardenne,  dimana kilang hayati yang ada merupakan kerjasama antara koperasi petani dan beberapa industri dengan bahan baku utama dari produk pertanian dan sisa-sisa produk pertanian seperti gandum, sugar beet,  dan juga alfalfa. Kilang hayati yang dikenal dengan Bazancourt-Pomacle biorefinery ini, seluruh industri yang terlibat berkolaborasi baik dalam riset, produksi maupun distribusi atas produk produk maupun produk sampingan yang ada (Pierre-Alain Schieb dkk, 2014).