Scroll untuk baca artikel
Opini

Ekonomi Kita dalam Jebakan Serius

Redaksi
×

Ekonomi Kita dalam Jebakan Serius

Sebarkan artikel ini

MAJELIS Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 8 Desember 2022 lalu mengundang penulis bersama Dr. Rizal Ramli dalam Forum Aspirasi Konstitusi (FAK) di Gedung Nusantara V. Kami diminta pandangan mengenai pelaksanaan ekonomi konstitusi, demokrasi ekonomi.

Dalam sesi tersebut, penulis sampaikan bahwa kita dalam masalah jebakan ekonomi serius oleh negara negara global utara atau negara maju. Sehingga ekonomi kita sulit bergerak dan bahkan mengalami ketergantungan yang serius terhadap ekonomi mereka.

Dari segi kebijakan moneter, yang otoritasnya di tangan Bank Indonesia ( BI) telah dibuat menjadi tak berdaya agar mudah dikendalikan oleh negara negara maju atau global utara.

Ini terlihat dari tujuan dari BI yang ternyata menurut UU tentang Bank Indonesia tugas dan tanggungjawabnya hanya satu : menjaga stabilitas nilai rupiah. Operasi kudeta mereka telah masuk ke tingkat regulasi.

BI dibuat menjadi semacam entitas hukum yang terpisah dari negara kita dan tidak memiliki tanggungjawab kebangsaan lainya seperti tanggungjawab terhadap pengangguran sebagaimana yang menjadi peranan dari bank sentral Amerika Serikat misalnya.

BI dibuat tak ubahnya semacam penjaga portal yang fungsinya jika The Fed menaikkan atau menurunkan suku bunga maka BI akan segera mengikutinya. BI ini sudah kehilangan kekuatanya sama sekali.

BI untuk mengontrol devisa kita juga sudah tidak efektif. Neraca perdagangan kita selama satu dekade terakhir menunjukkan angka surplus, namun tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan cadangan devisa kita. Data BI selama satu dekade malahan menunjukkan kurva penurunan terus menerus. Ini bukti bahwa kebijakan kontrol devisa kita sangat ultra liberal.

Tak hanya itu, kebijakan BI menjadi tak lagi punya wibawa di hadapan bankir. Keberpihakan pada masyarakat kecil tidak berjalan. Alokasi rasio kredit perbankkan hanya sebesar 3 persen untuk usaha skala mikro yang mengisi 99,6 persen atau 64 juta dari pelaku usaha kita ( BI, 2021).

Kepentingan asing itu terlihat menonjol dengan dibiarkanya penguasaan kepemilikan asing di sektor keuangan kita hingga 99 persen menurut UU Penanaman Modal kita. Ini adalah yang terliberal di dunia. Di Malasya misalnya hanya diperkenankan 17,5 persen. Amerika Serikat hanya 30 persen.

Mereka tahu bahwa sektor keuangan atau perbankkan adalah industri paling sensitif. Sebab perbankkan itu dalam ekonomi ibarat darah dalam tubuh. Maka jika sektor perbankkan kita dibiarkan dikuasai asing sepenuhnya itu artinya biarkan nilai tambah di sektor riil disedot habis untuk kepentingan mereka.

Dari segi kebijakan fiskal, ruang fiskal kita menjadi bergantung pada mereka. Ruang kebijakan fiskal kita dibuat menjadi sangat lemah dengan dijebak utang, investasi asing, dan konsumsi.

Jebakan itu dilakukan melalui pintu masuk utang. Ini terlihat dari utang kita yang tidak lagi rasional dengan pembanding kemampuan bayarnya. Kita harus berhutang untuk membayar angsuran dan bunganya. Utang kita sudah ugal ugalan, tak lagi gali lobang tutup lobang tapi gali lobang buat jurang.

Dalam simulasi fiskal kita, hingga 2024 nanti pemerintah Jokowi-Maruf Amin akan wariskan utang kurang lebih 10.000 trilyun rupiah. Ini akan jadi beban pembangunan bagi masa depan generasi mendatang.

Dari setiap utang ternyata telah dikomitmenkan penggunaanya untuk bangun infrastruktur yang kepentinganya sebetulnya sebagai faktor pendorong ( endorcement) bagi kepentingan investasi asing (foreign direct invesment/FDI).

Dari investasi asing tersebut mereka fokuskan ke dua hal, yaitu investasi di sektor komoditi ekstraktif dan perkebunan monokultur seperti sawit.