Oleh: Awalil Rizky*
Neraca Perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$21,74 miliar pada tahun 2020. Nilai ekspor mencapai US$163,31 miliar, sedangkan nilai impor hanya sebesar US$141,57 miliar.
Khusus neraca perdagangan nonmigas, surplusnya mencapai US$27,69 miliar. Total ekspor nonmigas sebesar US$155 miliar dan impornya sebesar US$127,31 miliar.
Secara umum, kondisi neraca perdagangan memang cukup menggembirakan, setidaknya bersifat menambah cadangan devisa. Dampak tidak langsungnya, memberi kontribusi pada terkendalinya nilai kurs rupiah.
Berita baik rilis BPS bertambah jika dilihat dari kondisi neraca perdagangan migas. Meski masih mengalami defisit sebesar US5,95 miliar, namun telah menurun signifikan dari tahun 2019 yang defisit hingga US$10,10 miliar.
Bertahun-tahun sebelum pandemi, berbagai kebijakan telah diambil untuk menekan defisit perdagangan migas dan belum cukup berdampak. Saat pandemi, nilai impor migas turun drastis hingga 23,04%.
Sebenarnya, nilai ekspor tahun 2020 masih menurun dibanding tahun 2019. Bahkan, nilainya masih lebih rendah dibanding tahun 2017 dan 2018. Namun, laju penurunan impor jauh lebih besar, dan merupakan nilai terendah sejak tahun 2017.
Akhirnya, diperoleh surplus yang cukup melonjak pada tahun 2020. Bagaimanapun, surplus tahun 2020 merupakan yang terbesar selama 8 tahun terakhir, sejak tahun 2012.
Berita baiknya, meski secara total terjadi penurunan nilai ekspor, beberapa golongan barang (HS 2 digit) mengalami peningkatan yang signifikan. Diantara golongan barang yang meningkat dan bernilai ekspor cukup besar adalah: Lemak dan minyak hewan/nabati (kode 15), Besi dan baja (kode 72), Ikan dan udang (kode 03), serta Mesin dan perlengkapan elektrik (kode 85).
Di sisi lain, beberapa golongan barang yang bernilai ekspor cukup besar mengalami penurunan. Antara lain adalah: Bahan bakar mineral (kode 27), Pakaian dan aksesorinya yang bukan rajutan (kode 62), Pakaian dan aksesorinya yang rajutan (kode 61), dan Bahan kimia anorganik (kode ).
Dilihat sektornya, kelompok sektor pertanian mengalami pertumbuhan ekspor yang tinggi, mencapai 13,98%. Sektor industri pengolahan pun masih bisa tumbuh, meski hanya sebesar 2,95%. Sedangkan ekspor produk pertambangan dan lainnya menurun drastis hingga 20,70%, terutama disumbang oleh menurunnya ekspor batubara.
Struktur ekspor selama setahun ini berubah. Bisa dikatakan menjadi relatif lebih baik dalam konteks struktur ekonomi dan struktur perdagangan luar negeri Indonesia.
Sektor migas turun dari 7,03% menjadi 5,09%. Sektor Pertambangan turun dari 14,85 menjadi 12,09%. Sektor Pertanian naik dari 2,16% menjadi 2,52%. Industri pengolahan naik dari 75,96% menjadi 80,30%.
Impor yang turun lebih tajam dari ekspor tampak dalam hampir seluruh golongan barang (HS 2 digit) yang bernilai besar. Hanya tiga golongan yang impornya meningkat, yaitu: Ampas/sisa industri makanan (kode 23), Perangkat optik, fotografi, sinematografi, medis (kode 90); dan Logam mulia dan perhiasan/permata (kode 71).
Surplus yang cukup besar pada 2020 tidak bisa sepenuhnya diartikan sebagai petanda baik bagi perekonomian Indonesia. Hal itu lebih dikarenakan penurunan impor yang mencapai 17,34%. Sedangkan ekspor hanya turun 2,61%.
Penurunan impor bisa dikatakan bukan disebabkan oleh telah adanya barang substitusi dari dalam negeri. Melainkan terkait dengan aktivitas produksi yang tengah menurun akibat pandemi.
Komposisi nilai impor menurut golongan penggunaan barang hingga kini masih didominasi oleh bahan baku/penolong yang mencapai 72,91% dari nilai total impor. Kelompok ini mengalami penurunan hingga 18,32% pada tahun 2020. Diikuti oleh penurunan barang modal sebesar 16,73%. Sedangkan porsinya masih mencapai 16,74%.