BARISAN.CO – Ekonom senior Emil Salim mengkritisi rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Menurutnya, ada terlalu banyak hal yang tidak realistis dari rencana itu, terutama terkait ongkos pengeluaran dalam proyek IKN.
Menurut Emil, pemindahan IKN terlalu mengandalkan dana swasta yang membawa konsekuensi serius. Total kebutuhan pemindahan IKN adalah sebesar Rp466 triliun, dengan rincian: Rp89,4 triliun bersumber dari APBN; Rp253,4 triliun dari KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha); dan Rp123,2 triliun bersumber dari swasta.
“Kita andalkan dana swasta. Anggaran pemerintah hanya terbatas. Sedangkan swasta memikirkan keuntungan. Dan siapa yang mempunyai dana untuk membangun gedung-gedung di Kalimantan kalau bukan swasta besar, konglomerat besar,” kata Emil Salim, dalam diskusi virtual yang diadakan Narasi Insistute, Jumat (16/4).
Selain ongkos fisik, Emil Salim juga menyoroti beleid yang mewajibkan hampir semua kantor di pemerintahan pusat langsung bertugas tepat ketika IKN sudah diresmikan.
“Ini mengganggu saya,” kata Emil Salim. “Jadi pada peresmian IKN nanti, lembaga-lembaga ini sudah diharuskan bertugas di tempat baru. Di antaranya adalah adalah Kantor Presiden, Kantor Wapres, MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Mabes TNI, Mabes Polri, BPK, dan seluruh kementerian dan Kejaksaan Agung. Itu usaha besar,” lanjutnya.
Bagi Emil hal demikian tidak realistis. Andaikata itu benar berlaku, maka ia memprediksikan akan terjadi tukar guling dengan swasta, di mana kantor-kantor yang dibangun oleh swasta di Kalimantan diganti dengan kantor-kantor kementerian yang ada di Jakarta.
Maka, Emil khawatir, gedung Pancasila yang difungsikan sebagai kantor Kementerian Luar Negeri nantinya akan dimanfaatkan jadi mall oleh pihak swasta. Begitupun gedung-gedung lainnya.
“Ongkos terbesar yang saya lihat adalah the historical cost … Departemen Luar Negeri adalah gedung Pancasila. Departemen Keuangan adalah satu monumen historis yang besar. Kompleks-kompleks di jalan Merdeka Barat/Timur/Utara/Selatan, semua punya nilai sejarah.”
“Kalau swasta menguasai gedung-gedung itu, maka apa yang berubah? Karakter dari ibu kota Jakarta yang menjadi ibu kota proklamasi, ibukota historis, tempat Republik merumuskan undang-undang dasarnya, semua ini hilang dan habis, berubah menjadi gedung komersial. Demi Ibukota Negara baru yang tidak punya sejarah,” jelas Emil Salim. [dmr]