Tapi Inggris belum saatnya berpuas diri. Dengan negara ini memperbarui target pengurangan emisi menjadi sebesar 78% pada 2035, maka ada banyak hal yang masih harus dilakukan. Apalagi, laporan Verisk Maplecroft menyebut, target baru itu akan mustahil tercapai kalau Inggris masih menjalankan kebijakan ‘hari ini’.
Untuk mencapai target barunya, Inggris membutuhkan lebih banyak mobil listrik, pemanas rendah karbon, listrik ramah lingkungan, serta pengurangan besar-besaran konsumsi daging dan produk susu. Dan, itu semua membutuhkan kerangka kebijakan lebih dari yang ada sekarang.
Namun di luar Inggris, jika melihat matriks keseluruhan anggota G20, tampak betapa transisi menuju dunia yang lebih hijau sedang mengalami ketidakteraturan. Laporan Verisk Maplecroft menunjukkan bahwa sejak tahun 2017, realisasi penurunan emisi dari negara G20 masih cukup jauh dari target yang ditetapkan pada 2030.
Performa Kebijakan Karbon G20 (2017-2020)

Menyitir laporan tersebut: “Negara-negara G20 perlu merumuskan langkah-langkah seperti pembatasan emisi untuk pabrik, menguatkan mandat untuk membeli energi bersih, dan melakukan pungutan tinggi atas karbon. Itu perlu dilakukan dengan sedikit peringatan keras.”
Negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat, China, Inggris, Jerman, dan Jepang perlu menghentikan emisi untuk memenuhi tujuan iklim yang telah disepakati.
Di titik inilah mengapa forum COP26 besok diharapkan mampu memberi tekanan pada negara-negara dunia untuk mengarahkan kebijakannya bertransisi menuju pembangunan yang rendah emisi. Maka sejatinya, COP26 adalah tentang mengubah komitmen menjadi tindakan nyata.
Anggaran Transisi Energi
Salah satu cara yang dianggap konklusif untuk mencapai Kesepakatan Paris adalah transisi energi bersih. Dunia harus meninggalkan pemanfaatan energi kotor seperti batu bara. Di satu sisi, perlu peningkatan derajat kepentingan energi baru terbarukan (EBT) seperti energi surya, bayu, air, dan lain-lain yang terbukti lebih ramah terhadap lingkungan.
Dan, sebagai kelompok yang memiliki share terbesar dari total ekonomi dunia, negara-negara G20 lagi-lagi menjadi pihak yang layak disorot. Dalam hal ini, menarik untuk mencermati anatomi pembiayaan anggota G20 terhadap sektor energi di negaranya masing-masing.
Data Energy Policy Tracker menunjukkan, pada tahun 2020, negara G20 telah menggelontorkan setidaknya US$648,60 miliar untuk berbagai jenis energi. Rinciannya: US$293,10 untuk energi fosil; US$246,06 untuk energi baru terbarukan; US$109,44 miliar untuk energi lainnya.
Dana Publik G20 Sektor Energi (2020)
Sumber data: Energy Policy Tracker.
Energy Policy Tracker menghitung akumulasi dana publik berdasarkan kebijakan moneter dan fiskal yang dikeluarkan masing-masing negara. Selain itu, dihitung pula kebijakan dan peraturan lain (off-budgeter) yang dinilai memberikan manfaat langsung bagi sektor energi.