BARISAN.CO – Setiap tahun, diperkirakan lebih dari sekitar 30 giga ton CO2 dilepaskan ke atmosfer bumi. Bagian terbesar dari emisi karbon tersebut berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, pembangkit energi tidak terbarukan, dan polusi aktivitas manusia.
Mengutip Guardian, sebuah penelitian baru menunjukkan AS telah menyumbang kerugian 16,5 persen atau lebih dari US$1,9 triliun pada negara lain dari dampak gas rumah kacanya.
Sejak tahun 1990, studi menemukan, volume besar gas pemanas planet yang dihasilkan AS menjadi penghasil emisi karbon terbesar dalam sejarah. Hal itu menempatkan AS di atas Cina, yang saat ini merupakan penghasil emisi karbon terbesar di dunia.
Cina menimbulkan kerugian (US$1,83 triliun), Rusia (US$986 miliar), India (US$809 miliar), dan Brasil (US$528 miliar) sebagai kontributor selanjutnya terhadap kerusakan ekonomi global melalui emisinya.
Penulis utama studi tersebut, Chris Callahan dari Dartmouth College mengatakan, penelitian itu untuk pertama kalinya dapat menunjukkan emisi suatu negara dapat ditelusuri hingga kerugian yang dihasilkan.
Rekan penulis, Justin Markin, ahli geografi di Dartmouth Clooge menyebut, ada ketidakadilan yang sangat besar.
“Negara-negara seperti AS secara proposional telah merusak negara berpenghasilan rendah,” kata Justin.
Negara berkembang dan aktivis iklim telah mendorong ganti rugi terhadap kerugian dan kerusakan yang dilakukan oleh mereka akibat pemanasan global melalui gelombang panas, banjir, dan kekeringan. Namun, AS yang bertanggung jawab atas sekitar seperempat emisi karbon hingga saat ini menolak membayar.
PBB memperkirakan, sebanyak 3,6 miliar orang di seluruh dunia sangat rentan terhadap bencana iklim.
Direktur Pusat Hukum Perubahan Iklim di Colombia Law School, Michael Gerrard menyampaikan, AS dan Cina memperumit janji memberikan US$100 miliar bantuan iklim kepada negara rentan karena tidak mengakui yuridiksi Pengadilan Internasional di Den Haag.
“Hambatan utama klaim oleh satu negara untuk kerusakan iklim bukan dasar ilmiahnya menjadi dasar hukum mereka. Negara-negara menikmati kekebalan berdaulat terhadap sebagian besar jenis tuntutan hukum,” ungkap Michael.
Sedangkan kepala eksekutif Pusat Hukum Lingkungan Internasional, Carroll Muffett menyampaikan, studi tersebut adalah langkah positif untuk mengukur kerugian.
“Ketika bukti meningkat dan catatan obstruksi AS dalam konteks iklim ditetapkan, saya tidak berpikir negara lain dapat melarikan diri selamanya dari tanggung jawab. Biaya kerusakan iklim meningkat dan pada akhirnya mereka harus membayarnya. Pertanyaannya adalah siapa yang akan melakukannya dan bagaimana hal itu akan dilakukan,” ujar Carroll.
Donald Trump terkenal denial terhadap sains. Dia bahkan pada 2018 meragukan laporan pemerintahannya sendiri terhadap dampak buruk perubahan iklim. Saat itu, Trump dengan lugas bahkan menyatakan tidak mempercayai pemanasan global yang tidak terkendali akan mendatangkan malapetaka bagi ekonomi AS.
Di bawah kepemimpinan Trump, pemerintahan AS pro terhadap bahan bakar fosil. Trump justru menilai negara lain seperti Cina dan Jepang seharusnya yang mengurangi emisi.
Tahun lalu juga, negara kaya menolak membangun fasilitas kerugian dan kerusakan saat Konferensi Tingkat TInggi untuk Perubahan Iklim (COP26). AS menganggap pengakuan seperti itu akan membuka gerbang litigasi untuk kompensasi.
Namun, ketakutan AS hanya ilusi. Itu disampaikan oleh Saleemul Huq yang memimpin Pusat Internasional untuk Perubahan Iklim dan Pembangunan berbasis di Bangladesh.