Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Evaluasi Akhir Tahun LP3ES: Politik Lingkungan dan Masalah Perubahan Iklim

Redaksi
×

Evaluasi Akhir Tahun LP3ES: Politik Lingkungan dan Masalah Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pendiri LP3ES, Ismid Hadad menyampaikan selama ini pembangunan dilakukan dengan cara merusak lingkungan dan alam, itu jelas tidak bisa lagi diterapkan karena sangat merusak dan merugikan masyarakat.

“Padahal banyak cara lain pembangunan dengan tanpa merusak dan tetap melestarikan alam. Tidak bisa lagi dibiarkan nafsu ekonomi, nafsu finansial terus membawa bencana dan kerusakan,” terangnya pada webinar Evaluasi Akhir Tahun LP3ES bidang Politik Lingkungan Hidup dan Masalah Perubahan Iklim, Rabu (15/12/2021) malam.

Menurut Ismid masalah tata kelola harus jadi perhatian serius dan itulah pentingnya pengawasan yang lebih efektif dan lebih terkendali oleh masyarakat sipil. Agar masyarakat sipil tidak hanya hanya jadi subordinasi dari pemerintahan.

“Satu lagi hal serius yang perlu lebih jadi perhatian adalah ancaman kerusakan akibat perubahan iklim yang dampaknya bagi manusia jauh lebih besar dan daya jangkaunya mencapai pelosok mana saja. Satu satunya cara meredam dampak kerusakan akibat perubahan lingkungan adalah dengan melakukan mitigasi dari bencana perubahan iklim tersebut,” imbuhnya.

Sementara itu terkait emisi karbon, Ismid berpandangan Indonesia dianggap masih ragu-ragu dan tidak konsisten sehingga menjadi olok-olok media internasional.

“Model sistem penurunan emisi yang dimiliki Indonesia juga sudah seharusnya dievaluasi karena dipandang tidak efektif,” imbuhnya

Ketua Dewan Pengurus BINEKSOS  mengatakan penurunan emisi yang paling besar di Indonesia adalah dari hutan.

“Namun model penurunan emisi Indonesia dengan mengkompensasi kerusakan hutan di satu wilayah dengan mengganti di wilayah lain adalah model yang keliru,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof Hariadi Kartodihardjo mengatakan terdapat beberapa persoalan mendasar dari karut matur tata kelola lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA).

Hal yang disorot Prof Hariadi yakni persoalan ketimpangan pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi dasar dari persoalan-persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Termasuk soal-soal politik tata ruang perizinan dan infrastruktur.

“Adanya institusional corruption yang merupakan peran lembaga, bukan orang per orang terkait praktik-praktik dan sistem yang korup dalam pemanfaatan tata ruang dan sumber daya alam,” sambungnya.

Persoalan lain menurut Prof Hariadi,  adanya tekanan-tekanan nyata dari perusahaan yang beroperasi mengeksploitasi sumber daya alam di daerah dengan didukung oleh militer dan paramiiter setempat sering menjadi hambatan bagi kepala daerah dalam menjalankan program aksi penyelamatan lingkungan hidup di daerah.

“Termasuk peizinan-perizinan ekstraktif yang kini menurut UU Omnibus Law telah menjadi wewenang pemerintah pusat sehingga daerah menjadi tidak berdaya,” terangnya.

Penulis Buku “Di Balik Krisis Ekosistem” mengatakan lingkungan hidup banyak sekali terkait dengan “hukum alam”. Hutan lindung jika dirusak oleh siapapun pasti akan memberikan dampak kerusakan berupa bencana alam yang luar biasa.

“Sehingga dari situ perlu keputusan pasti dan bukan hanya persoalan negosiasi politik. Tetapi arah politik lingkungan hidup semakin melonggarkan pemanfaatan eskploitasi sumber daya alam dengan alasan adanya proyek strategis nasional 2021,” terangnya.

Lain lagi dengan Fachruddin M Mangunjaya, Penulis Buku “Generasi Terakhir” menyorot persoalan lingkungan dan peran agama.

Menurut Fachruddin dimensi etik, di antaranya peran agama perlu diketengahkan kembali dalam kebijakan-kebijakan penyelamatan lingkungan, apalagi jika dikaitkan dengan bencana perubahan iklim pemanasan global yang segera melanda.