Scroll untuk baca artikel
Opini

Faktanya, Banyak Orang Menjadi ‘Idiot Besar’ Gara-gara Miras

Redaksi
×

Faktanya, Banyak Orang Menjadi ‘Idiot Besar’ Gara-gara Miras

Sebarkan artikel ini

Dibukanya aliran investasi minuman keras oleh Presiden Joko Widodo memunculkan perkubuan. Banyak penolakan datang terutama atas pertimbangan larangan agama. Sebaliknya, ada yang mendukung dengan dalih bahwa investasi miras mampu dongkrak pertumbuhan ekonomi.

Kedua pandangan itu memang layak diberi tempat untuk pro-kontra. Minuman keras, bagaimanapun, adalah fenomena ekonomi dan adalah juga fenomena moralitas beragama. Tapi agar lebih mudah, kita agaknya perlu menengok kenyataan miras di akar rumput dan melihat bagaimana penerimaan masyarakat tentang itu.

Nun jauh di bawah sini, di akar rumput, saya menyaksikan betapa miras sering mengantar kehidupan sosial ekonomi masyarakat masuk ke dalam ruang-ruang samar. Situasi yang semestinya dapat selesai secara jernih, justru berubah menjadi sekeruh dasar kolam lele gara-gara miras.

Misalnya orang ini, Aziz namanya, adalah teman saya ngekos sewaktu kuliah. Mulutnya berbau alkohol nyaris setiap malam. Pernah pada suatu malam kami mampir ke Alfamart membeli keperluan. Setelah barang didapat, kami keluar, dan Aziz yang saat itu setengah mabuk memberikan uang ke tukang parkir dan, paginya, ia baru sadar bahwa yang ia berikan adalah pecahan Rp20 ribu.

Kami sama-sama membenci tukang parkir Alfamart. Mereka mendapat uang hanya dengan melambaikan tangan dan bagi kami itu tidak adil. Pagi itu, dengan emosi Aziz berucap dalam bahasa Jawa, “Saya tidak ikhlas, Ndes! Bahkan 2 ribu rupiah untuk orang seperti mereka terlalu mahal.”

“Mau bagaimana, sudah telanjur.”

“Tapi saya rugi. Ada selisih 18 ribu di sana,” kata Aziz.

“Demikianlah mabuk membuat mahasiswa kehilangan kontrol ekonomi,” jawab saya.

Anda tidak perlu tahu tanggapan Aziz berikutnya. Yang jelas, di malamnya yang jahanam itu, ia telah mengeluarkan biaya 1000% lebih mahal dari seharusnya.

Lain kisah Aziz lain kisah Restu. Restu adalah pemilik angkringan tak jauh dari kosan saya. Pernah suatu ketika datang seorang pemuda ke angkringan. Kami paham pemuda ini mabuk sedari kejauhan. Jalannya mleyat-mleyot. Tercium aroma congyang sejak ia mengucap kalimat pertama. “Bungkusin gorengan 10 biji, Mas.”

Kami mudah mengenali aroma congyang—miras khas Semarang—sebagaimana kami mengenali parfum murahan. Keduanya mengandung unsur bau kemiskinan yang serupa.

Restu lantas memberi gorengan sebanyak diminta si pelanggan mabuk. Anda tahu selanjutnya? Si pemuda mabuk menolak membayar. Layaknya jagoan di film-film, ia tiba-tiba mengancam siapapun yang berani macam-macam dengannya. Dan Restu, karena tak ingin ada keributan di angkringannya, akhirnya rela 10 biji gorengannya seharga 5 ribu rupiah itu digondol si pemuda mabuk.

Terdengar remeh dan sepele, ya? Anda boleh menganggapnya demikian. Tapi baik Aziz maupun Restu, mereka sama-sama dirugikan oleh adanya miras. Kehilangan 18 ribu ataupun 5 ribu rupiah adalah hal besar. Dan saya percaya ada banyak sekali orang seperti mereka, dengan skala kerugian nominal yang amat beragam.

Dan jika dorongan investasi berarti makin banyak miras diproduksi, tak bisa dibayangkan bagaimana bentuk kenaikan kurva permintaan komoditas ini nantinya. Apalagi, investasi ini dibuka sampai tingkat perdagangan eceran dan kaki lima.

Dampak negatif atas semakin mudahnya memperoleh miras merupakan kemungkinan yang selalu terbuka. Rasa-rasanya, kita perlu terus mengatakan, bahwa gejolak sosial akibat investasi ini akan lebih besar dibanding keuntungan yang didapatkan, di mana—berkaca dari pengalaman masa lalu—biasanya hanya dinikmati segelintir kalangan. []