Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Falsafah Proses: Transendensi-Transformasi

Redaksi
×

Falsafah Proses: Transendensi-Transformasi

Sebarkan artikel ini

Sungguh, Muhammad sosok murni. Terekam dalam sejarah, Abdullah, ayah Muhammad, meninggal sebelum sang murni itu dilahirkan. Berikut, ketika berusia enam tahun, si ibu, Aminah, juga meninggal, sehingga praktis dalam usia teramat belia, Muhammad tumbuh tanpa kehadiran ayah-ibu. Beberapa tahun kemudian, persisnya tatkala Muhammad berusia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari, kakek beliau, Abdul Muththalib meninggal dunia. Maka, betapa Muhammad tak menempuh proses pendidikan sebagaimana wajar manusia. Beliau bertumbuh kembang tidak dalam rengkuhan keluarga inti.

Kemudian, Muhammad juga simbolik “ibu”, karena kemampuan beliau sebagai perantara dengan Tuhan. Beliau adalah simbol hamba sekaligus wakil Tuhan. Hadir di depan Tuhan, mewakili umat manusia. Hadir di depan sesama, mewakili Allah.

Kebajikan Muhammad itu jika dilukis di atas segitiga: kedamaian dan kejujuran sebagai titik puncaknya, sedang kemurahan dan kemuliaan hati serta kekuatan dan ketenangan hati sebagai kedua titik alasnya. Singkatnya, kehadiran Muhammad adalah hamemayu hayuning bawana.  

Bahwa kebenaran mengimanen dalam kehadiran, dan kehadiran mentransenden ke kebenaran. Bahwa Tuhan turun menjadi manusia adalah imanensi, aktual pada Isa al-Masih. Selanjutnya, manusia naik ke tingkat ketuhanan adalah transendensi.

Syahdan, di Hari Natal umat Kristiani ini, saya hanya bisa mengelaborasi bahwa kesucian Maria yang mengandung dan melahirkan Yesus Kristus adalah sabda menjadi manusia. Kemudian, Muhammad yang lahir dari kalangan terhormat tapi relatif miskin, dan sanggup menanggung pesan suci dari Allah, adalah manusia menjadi sabda. Isa al-Masih adalah sang imanen. Sementara, Muhammad saw. menggenapi pola transendensi itu dengan pola transformasi. Itulah falsafah proses.

Ungaran, 25/12/2020