Bahwa memihak buruh, tidak berarti Islam itu “kiri”, karena Islam mengakui buruh sebagai buruh, bukan sebagai penguasa tunggal sebagaimana ideologi marxisme. Karena politik Islam, sebagaimana umat Islam, bergerak atas kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material. Tetap tersisip kesadaran akan kebenaran dan keadilan, kesadaran akan Tuhan, menggapai rida Tuhan, dan menuju Tuhan.
Kemudian, fenomena menonjol lain saat ini yaitu fundamentalisme. Fundamentalisme Islam, dalam kacamata Pak Kunto, tidak sekadar persoalan akidah, tapi yang lebih tepat sebagai gerakan anti-industrialisme. Hal itu tampak, pertama, kaum fundamentalis ingin kembali kepada sunnah rasul, seperti dalam berpakaian: jubah dan cadar. Mereka menolak industri fashion.
Kedua, kaum fundamentalis ingin kembali ke alam. Mereka menolak wewangian buatan pabrik. Mereka mengampanyekan bahan-bahan alamiah, seperti siwak, minyak wangi non-alkohol, dan seterusnya.
Ketiga, dengan begitu kaum fundamentalis pun mempunyai implikasi politik. Sehingga, wajar akhirnya mereka diidentikkan sebagai terorisme oleh negara-negara industri maju. Kaum fundamentalis benar-benar lantang menolak pelbagai paket produk industri negara maju.
Sehingga, “kesalahan” yang akhirnya mengemuka dari gerakan fundamentalis itu, gerakan anti-industrialisme mereka dianggap sebagai akidah, padahal sejatinya muamalah. Gerakan mereka berlandas ideologi, yang sudah pasti kaku, bukan berdasar ilmu yang sanggup melihat realitas objektif sebagai realitas riil yang harus dihadapi secara rasional.
Begitu.