Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Fenomena Industrial

Redaksi
×

Fenomena Industrial

Sebarkan artikel ini

DUA ciri masyarakat industrial: rasionalisasi dan sistemasi. Orang akan bertindak rasional, memuja rasionalitas, mempergunakan pembukuan yang teliti, dan perhitungan untung-rugi. Perbuatan yang tidak cukup lagi bersandar atas nilai susila, perasaan, dan tradisi. Masyarakat industrial juga bersifat anonim. Tidak lagi diatur oleh orang, tapi sistem yang abstrak. 

Kini, kita merasakan benar kondisi itu. Kita berasa tertuntut untuk berpikir rasional dan di bawah kendali sistem. Makna akhlak dan hati nurani serasa harus menemu wujud secara rasional dalam situasi yang konkret dan objektif.

Dr. Kuntowijoyo mencontohkan dua ciri tersebut: perintah agama untuk berbuat baik kepada orang tua, di Singapura diwujudkan dalam bentuk pembebasan pajak terhadap orang tua. Pembagian kerja yang diatur sedemikian efektif oleh sistem impersonal.

Sehingga, seorang masinis tidak serta merta bisa mewariskan pekerjaan kepada anaknya, karena harus melewati penjaringan lapangan kerja secara sistemik. Bahwa untuk menjadi masinis, seseorang harus sekolah teknik. Bahwa untuk menduduki jabatan kepala negara dan daerah, harus melalui sistem pemilu.

Dalam masyarakat industrial ini pula, lahirlah pelapisan sosial berdasarkan kelas. Dan, kelas seseorang ditentukan oleh kedudukannya dalam logika pasar. Bahwa seseorang termasuk dalam suatu kelas tergantung dari kekayaannya, pekerjaannya, kesempatannya dalam kekuasaan, dan atau pemilikan benda-benda material.   

Dari situlah tampak, kenapa Pak Kunto sedemikian getol mengungkap bahwa masalah pokok yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan.

Kemiskinan berpangkal dari kesenjangan natural, akibat tidak samanya pendapatan, karena perbedaan unsur produksi yang disetor ke pasar. Bahwa ada yang punya modal, ada yang punya otak, dan ada yang hanya punya tenaga kerja.

Sementara kesenjangan terjadi karena masalah struktural. Akibat dari perbedaan fasilitas yang diberikan oleh kekuasaan politik. Karena adanya kolusi antara pelaku bisnis dan politisi.

Karena peraturan-peraturan tentang golongan yang disukai dan tidak. Tentang bagaimana kredit perbankan disalurkan, bagaimana modal dibangun, dan izin perusahaan dikeluarkan.

Dengan demikian, bagi Pak Kunto, perpolitikan Islam di negeri ini akan bersifat rasional, tatkala pertimbangan ekonomi lebih menonjol dari yang lain. Politisi muslim harus pintar memilah siapa yang termasuk dhu’afa dan siapa yang mustadh’afin. Bukan dalam arti demi kemenangan material salah satu pihak, tapi untuk mencari keadilan dan kemaslahatan umum.

Bahwa memihak buruh, tidak berarti Islam itu “kiri”, karena Islam mengakui buruh sebagai buruh, bukan sebagai penguasa tunggal sebagaimana ideologi marxisme. Karena politik Islam, sebagaimana umat Islam, bergerak atas kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material. Tetap tersisip kesadaran akan kebenaran dan keadilan, kesadaran akan Tuhan, menggapai rida Tuhan, dan menuju Tuhan.

Kemudian, fenomena menonjol lain saat ini yaitu fundamentalisme. Fundamentalisme Islam, dalam kacamata Pak Kunto, tidak sekadar persoalan akidah, tapi yang lebih tepat sebagai gerakan anti-industrialisme. Hal itu tampak, pertama, kaum fundamentalis ingin kembali kepada sunnah rasul, seperti dalam berpakaian: jubah dan cadar. Mereka menolak industri fashion.

Kedua, kaum fundamentalis ingin kembali ke alam. Mereka menolak wewangian buatan pabrik. Mereka mengampanyekan bahan-bahan alamiah, seperti siwak, minyak wangi non-alkohol, dan seterusnya.

Ketiga, dengan begitu kaum fundamentalis pun mempunyai implikasi politik. Sehingga, wajar akhirnya mereka diidentikkan sebagai terorisme oleh negara-negara industri maju. Kaum fundamentalis benar-benar lantang menolak pelbagai paket produk industri negara maju.