Scroll untuk baca artikel
Opini

Makna Kebersamaan dan Tatanan Masyarakat

Redaksi
×

Makna Kebersamaan dan Tatanan Masyarakat

Sebarkan artikel ini

Islam mengajarkan arti pentingnya makna kebersamaan sebagai etos kerja, toleransi, musyawarah, menghargai perbedaan kepedulian terhadap individu lain

INDIVIDU adalah unsur terkecil dalam sebuah sistim tatanan masyarakat, yang mana di dalam tatanan masyarakat tersebut terdiri dari berbagai individu-individu yang berdiri, tak mustahil pula berlatar belakang suku dan budaya berbeda-beda pula. Sifat heterogenitas tersebut tidak terhenti pada aspek latar belakang suku dan budaya semata. Tetapi yang lebih hakikatnya lagi bahwa pada fitrahnya manusia diciptakan dalam segala perbedaan.

Berbeda warna kulit, kebangsaan, terlebih lagi sifat, karakter, pola pikir, serta visi dan misi atau tujuan hidup masing-masing individu. Ketika perbedaan visi antar individu dalam masyarakat maka akan timbul sebuah benturan yang kemudian kita sebut sebagai konflik.

Ketika konflik yang terjadi bukan menjadi nilai positif yang dihasilkan dalam sebuah tatanan masyarakat, maka lahirlah kesepakatan-kesepakatan yang merujuk pada sebuah tata aturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat guna menuju nilai yang lebih tinggi yaitu kejayaan atau peradaban sebagai tujuan bersama.

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”QS Ali Imran: 103

Dalam tata aturan tersebut terdapat norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap individu anggota masyarakat, antara lain norma etika/kesopanan, norma sosial, serta norma keyakinan atau agama. Artinya setiap individu atau anggota masyarakat harus lebih bisa mengedepankan kepentingan umum atau bersama diatas kepentingan pribadi/golongan.

Walaupun secara fitrah manusia mempunyai kebebasan (freedom humanistic) dalam kediriannya untuk menentukan segala hal guna kelangsungan hidupnya, namun pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang artinya tidak dapat berdiri sendiri atau dengan kata lain selalu bersinggungan dengan individu lain.

Secara teoritis bahwa ego tidak bisa berdiri diatas hubungan emosional dalam lingkup komunal. Ketika seseorang lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan bersama dan tidak diindahkannya lagi norma-norma yang menjadi sendi dalam tata aturan hidup bermasyarakat maka akan berlakulah hukum bersama misalnya pengucilan terhadap anggota masyarakat tersebut.

Bukan karena faktor egoisme semata sifat ini muncul namun ada kemungkinan dari indikasi telah bergesernya pola pikir atau paradigma pada individu tersebut, misalnya dalam pemenuhan hidup menggunakan praktik-praktik dengan modal sekecil-kecilnya demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Tipe-tipe seperti inilah yang akan mengajarkan metode-metode eksploitatif, pemaksaan, penindasan, bahkan penjajahan terhadap individu lain sehingga lupa dengan statusnyta sebagai makhluk sosial yang harus saling membantu serta peduli dengan individu-individu lain . Apabila sifat ini telah mewabah pada setiap anggota masyarakat maka dalam menyongsong tujuan bersama yaitu masyarakat yang berperadaban akan mengalami hambatan, karena visi masyarakatnya berjalan secara parsial.

Sebagian contoh kecil inilah yang akan melemahkan semangat makna kebersamaan sehingga kekuatan masyarakat mudah dipatahkan oleh musuh. Sebagai ibarat bahwa sapu lidi akan sulit/lama dalam bekerja ketika unsur lidi yang digunakan sedikit, dan akan lebih mudah serta kuat ketika unsur lidi yang digunakan banyak. Sangat dimungkinkan akan keniscayaan sebuah kehancuran dalam sistem masyarakat tersebut.

Makna Kebersamaan Sebagai Solusi

Bagaimana hambatan-hambatan seperti yang telah disampaikan di muka dapat minimalisir bahkan dihilangkan. Maka yang menjadi tawaran pertama adalah meluruskan kembali pemahaman paradigma yang salah, selanjutnya kembali secara berkala dalam sebuah bingkai kebersamaan menjalankan tata aturan yang telah disepakati dalam masyarakat.