Scroll untuk baca artikel
Kolom

Fenomena No Viral No Justice: Sebuah Otokritik Bagi Penegak Hukum

Redaksi
×

Fenomena No Viral No Justice: Sebuah Otokritik Bagi Penegak Hukum

Sebarkan artikel ini
No Viral No Justice
Ilustrasi foto/Pexels.com

Fenomena no viral no justice muncul karena kekecewaan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum yang dianggap tidak adil.

Oleh: Syaiful Rozak

DEWASA ini, kinerja Polri mendapat kritikan tajam dari masyarakat. Mulai dari pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminatif hingga penyalahgunaan wewenang.

Sejumlah tagar menghiasi media sosial seperti #PercumaLaporPolisi#PercumaAdaPolisi. Tagar muncul akibat dari kekecewaan masyarakat terhadap kinerja polri.

Isu terkini adalah fenomena “no viral no justice”. Masyarakat menganggap bahwa jika tidak viral, maka kasus tidak akan diproses.

Karena anggapan ini sudah melekat di masyarakat, maka mereka menviralkan di media sosial dengan harapan agar segera ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

Fenomena no viral no justice muncul karena kekecewaan masyarakat terhadap praktek penegakan hukum yang dianggap tidak adil.

Masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang viral cenderung lebih cepat selesai daripada kasus yang dimulai dengan laporan biasa. Istilah “no viral no justice” merupakan bentuk simpati dan kepedulian masyarakat melihat praktek penegakan hukum di Indonesia.

Kasus Ferdy Sambo dan Pembunuhan Vina barangkali adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut.

Jika kasus Ferdy Sambo tidak viral, maka tidak akan cepat diproses. Kasus pembunuhan Vina dibuka kembali juga karena viral dimedia sosial, padahal sudah delapan tahun yang lalu. Dan yang terakhir adalah kasus Pegi Setiawan korban salah tangkap.

Kasus diatas hanya beberapa contoh saja, sangat mungkin terjadi dilain waktu dan kesempatan. Terbaru adalah kasus perundungan anak di Jawa Barat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari kepolisian.

Masyarakat akan cenderung memviralkan kasus agar cepat ditangani. Yang penting adalah viral dulu. Sedangkan kasus yang tidak viral cenderung diabaikan.

Fenomena “no viral no justice” adalah tamparan sekaligus tantangan bagi penegak hukum. Istilah tersebut menurut Poengky Indarti adalah sindiran masyarakat agar Polri lebih profesional dan sigap dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, terutama dalam menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat.

Mengembalikan Marwah Penegak Hukum

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespon positif masukan masyarakat terhadap kinerja Polri.

Menanggapi hal tersebut, Kapolri memerintahkan jajarannya berbenah guna menghilangkan stigma negatif itu. Fenomena no viral no justice sebenarnya bisa dijadikan momentum Polri untuk berbenah diri.

Tagar percuma lapor polisi, percuma ada polisi, no viral no justice menandakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polri itu rendah.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka hal yang perlu dilakukan oleh Polri adalah pertama: memperbaiki sistem pelayanan masyarakat dengan prinsip non diskriminasi.

Kedua: menindak secara tegas anggota yang bermasalah dengan hukum tanpa pandang bulu.

Ketiga memperkuat sistem pengawasan untuk mempersempit penyalahgunaan wewenang. Keempat: responsif terhadap aduan dan laporan masyarakat.

Polri memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga marwah penegak hukum. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dibutuhkan komitmen dan kerja keras.

Kita perlu mendukung dan mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo terhadap kritik dan masukan masyarakat terhadap kinerja polri. Yang kita harapkan adalah komitmen dari tubuh polri untuk berbenah diri.

Diproses tidak harus menunggu viral. Adil tidak harus menunggu viral. Apakah hal ini bisa terwujud? Biarlah waktu yang akan menjawab.[]