Maka dia menjadikan cara sang bromocorah sebagai metode elektabilitasnya.
DI DAERAH Pantura pernah ada seorang bromocorah yang namanya kondang. Menurut seorang jurnalis, dia juga dikenal dermawan. Pernah membantu warga yang terdesak kebutuhan. Artinya, dia tidak serupa Robin Hood, tapi hanya pernah dikabarkan mengulurkan tangan untuk orang miskin, dan berita itu jadi viral.
Karena keviralan itu, saat mencalonkan diri sebagai Kepala Desa, dia menangguk banyak suara. Jadilah dia sebagai Kades yang cukup legend hingga kini dia telah tiada.
Pertama, dia populer, dan kedua punya elektabilitas sebagai calon kades terpilih, karena pernah menolong orang miskin itu.
Lanjut sang jurnalis berkisah, tentang seorang caleg di daerah sama. Si caleg cukup populer sebagai tokoh masyarakat, tapi dia tidak cukup punya banyak uang. Maka dia menjadikan cara sang bromocorah sebagai metode elektabilitasnya.
Dia membantu beberapa warga miskin, dan minta si jurnalis untuk memberitakan. Hasilnya, dia terpilih di Pemilukada 2019.
Jadi, tampaknya popularitas dan elektabilitas sebagai calon, tergantung bagaimana seseorang pintar memetik buah momentum. Sebab ada seorang caleg mempertaruhkan semua daya dan kekayaannya, toh tidak terpilih.
Kini dia dimiskinkan oleh money politic, dan berperilaku menyimpang. Untuk tidak mengatakan berperan sebagai ODGJ.
Masyarakat pemilih memang aneh-aneh sedap. Yang mereka lihat bukan kekayaannya atau keterkenalannya. Melainkan, bagaimana seseorang mampu mencuri hati rakyat.
Kampanye seriuh apa pun, sebuih-buih apa pun dalam janji, sebanyak apa pun amplop yang dibagikan akan masuk kantong kiri keluar kantong kanan.
Kita tidak bicara satu golongan masyarakat, tapi rakyat seumumnya. Seorang calon yang di kalangan elite dicela, kalau dia mampu mengambil simpati, rakyat akan memberi hatinya.
Seorang calon banyak dihujat bodoh atau pandir, kalau ada klik populer dengan hati rakyat, maka dia akan menjadi primadona pilihan atau elektabilitas.
Rakyat tidak terlalu peduli dengan amplop yang diterima. Apalagi janji-janji yang rakyat sudah hapal di luar kepala. Rakyat hapal dengan lagu: janji janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi.
Sebabnya rakyat tampaknya tidak tinggal di pikiran, tapi berdiam di hati. Jadi jangan suapi pikirannya, tapi kulik hatinya.
Lalu bagaimana dengan sentimen, politik identitas misalnya. Siapa bilang masyarakat tidak demen politik identitas. Terbukti ormas berbasis agama banyak diincar parpol untuk memenangkan calonnya. Dan itu sudah bukan rahasia, tanya saja pada rumput yang bergoyang.
Cerita lanjut sang jurnalis ialah, tentang nasib seorang teman. Teman kita boleh dibilang tokoh budaya, tidak punya uang tentu untuk pencalegannya.
Tapi pada mulanya dia nekad, bermodal nol rupiah dan mencantumkan nama baptisnya. Ternyata dia justru terpilih di legislatif provinsi. Secara logika, simpatisannya sebagian besar adalah pemilih Nasrani.
Panggung yang ditunggu memang siapa yang muncul sesuai citarasa penonton. Bukan dialog atau ektingnya yang seringkali justru memuakkan. Itulah syarat primadona yang mesti memahami bahwa penonton ibarat kekasih yang membawa tiket hati.
Begitulah panggung politik di mata hati rakyat.[Eko Tunas/Budayawan]