Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Fitnah Keji Pasca-Utsman

Redaksi
×

Fitnah Keji Pasca-Utsman

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COUtsman terbunuh. Fitnah besar pun menyelimuti kaum muslimin tempo itu. Ali ibn Abi Thalib, pengganti Utsman, menerima getah kisah buram selama berabad-abad hingga hari ini. Kisah yang tak jelas, apa sebenarnya yang terjadi. Demikian pula yang mendera Sayyidah Aisyah, yang kerap dikisahkan memendam benci kepada Ali ibn Abi Thalib.

Benci yang bermula tatkala fitnah keji menimpa keutuhan Sayyidah Aisyah bersama kanjeng Nabi Saw. Aisyah diembuskabarkan oleh para munafik, berselingkuh dengan Shafwan. Madinah gempar. Namun, Allah menjaga kesucian Sayyidah Aisyah, turun ayat, surat al-Nur: 11-21, yang menandaskan bahwa kabar yang dibawa Abdullah ibn Ubay adalah dusta belaka. Kemudian kaum muslim yang turut menyebar berita hoaks itu pun dihukum cambuk, Hassan ibn Tsabit salah satunya.

Tapi, entah kenapa, spekulasi pascakabar dusta itu masih beredar dan bertahan hingga hari ini, bahwa hubungan Aisyah dengan Ali tidak baik. Terlebih kemudian, seolah terbukti benar, berkecamuk peristiwa Perang Unta, antara kubu Aisyah dengan kubu Ali ibn Abi Thalib. Perang saudara yang menelan korban tak sedikit.

Pertanyaannya, benarkah ada keretakan hubungan antara Sayyidah Aisyah dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib?

Menjawab pertanyaan tersebut, saya lebih sreg merujuk pada kitab ‘Aisyah Ummul Mu’minin karya Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Mengingat kapabilitas Syekh Muhammad Said al-Buthi yang terakui oleh dunia internasional sebagai ulama abad ini. Apalagi beliau kerap dijuluki sebagai Al-Ghazali abad XXI.

Dari ungkapan Syekh Said al-Buthi, tidaklah benar bahwa ada kebencian di hati Sayyidah Aisyah terhadap Ali ibn Abi Thalib terkait pascakabar dusta yang diusung Abdullah ibn Ubay. Terhadap Hassan ibn Tsabit saja, Aisyah menaruh hormat, padahal jelas-jelas turut menyebar fitnah keji tersebut. Tidak ada riwayat yang menuturkan bahwa Aisyah mendengki Hassan. Apalagi kepada Sayyidina Ali, yang selain sebagai sahabat utama Nabi Saw., tidak turut menyebar fitnah.

Adapun ungkapan Ali, “Wahai Rasulullah, masih banyak wanita yang bisa menggantikan posisinya di sisimu dan Tuan mampu melakukannya. Tanyalah kepada pembantunya, ia akan menyampaikan kabar tentangnya.”, jelas tidak menunjukkan tuduhan fitnah kepada Aisyah.

Dalam pandangan Sayyidina Ali, menurut Syekh al-Buthi, masalah yang mendera Nabi Saw. itu adalah lebih sebagai motivasi agar Nabi Saw. tidak memendam gelisah yang berkepanjangan. Ucapan Ali tidak berkaitan benar salahnya Aisyah. Karena mereka, baik Nabi Saw. sendiri maupun Sayyidina Ali, tahu betul siapa Sayyidah Aisyah, yang jelas-jelas lahir dari keluarga mulia, Abu Bakar Ashiddiq.

Nah, hari-hari tasyriq setelah Utsman terbunuh, para istri Nabi Saw. tengah menunaikan ibadah haji di Mekah, artinya Aisyah beserta para istri yang lain tidak sedang di Madinah. Pada saat bersamaan, di Madinah kaum muslimin telah berbaiat kepada Ali ibn Abi Thalib.

Di Mekah, selain para Ummul Mukminin, berkumpul pula para pemuka sahabat. Kemudian datang pula, Ya’la ibn Umayyah, gubernur Yaman yang diangkat oleh Utsman ibn Affan. Juga Abdullah ibn Amir, gubernur Basrah, yang juga diangkat oleh Utsman. Mereka berdua sengaja menemui Ummul Mukminin mendiskusikan soal kematian Utsman ibn Affan. Dari situlah, Aisyah mengemukakan pendapat agar mereka menuntut kisas atas pembunuhan Utsman.

Orang-orang yang ada di Mekah menyambut seruan Sayyidah Aisyah tersebut. Lantas mereka bersepakat untuk memulai kampanye tuntutan di Basrah. Mereka juga sepakat untuk mengangkat Sayyidah Aisyah sebagai koordinator kampanye.