Setiba di Marbad, pinggiran kota Basrah, rombongan yang berjumlah ribuan di bawah kepemimpinan Sayyidah Aisyah beristirahat. Kemudian datang sepasukan dari Basrah yang dipimpin Hakim ibn Jabalah, salah seorang yang terlibat pembunuhan Utsman, membuat kisruh dan akhirnya terjadi perselisihan dengan pengikut Aisyah. Peperangan pun tak terelakkan. Pasukan Hakim terus merangsek, menyerang rombongan Aisyah.
Namun, apalah daya pasukan Basrah pimpinan Hakim itu melawan rombongan sahabat pimpinan Aisyah. Setelah pertarungan yang cukup sengit, barisan pasukan Basrah hancur porak poranda. Hakim sendiri terbunuh beserta 70 orang pasukannya.
Sementara itu, Ali ibn Abi Thalib r.a. mengalihkan perhatian dari Syam ke Basrah ketika mengetahui apa yang tengah berkemelut di sana. Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang Tuan kehendaki?”
Ali menjawab, “Tiada yang kuinginkan selain perdamaian.”
Singkat kisah, Ali mengutus al-Qa’qa ibn Amir, seorang pemuka Kufah, untuk menemui Aisyah di Basrah. Dan, di hadapan Aisyah, ia berkata, “Wahai Ibunda, apakah yang mendorongmu berjalan sejauh ini hingga tiba di sini?”
“Anakku,” jawab Aisyah, “sesungguhnya aku menginginkan perdamaian di antara umat.”
“Jika begitu, apa syarat yang diinginkan agar perdamaian itu terwujud dan bagaimana mewujudkannya?”
“Kami menginginkan orang-orang yang membunuh Utsman. Jika urusan ini diabaikan berarti kita mengabaikan perintah Al-Quran.”
Al-Qa’qa pulang menemui Ali dan melaporkan hasil diskusi dengan Aisyah. Ali sangat senang, karena ternyata ia dan Ummul Mukminin bersepahaman menghendaki perdamaian. Dan esok paginya, Ali beserta pasukan bergerak ke Basrah hendak menemui Aisyah. Di sisi lain, Aisyah juga bergerak hendak menyambut sang Amirul Mukminin. Akhirnya kedua pihak bertemu dan berhadapan.
Tidak ada peperangan antara keduanya. Mereka bersepakat menjaga perdamaian dan ketenangan di tubuh umat. Mereka sama-sama bersepakat bahwa segala urusan kisas atas pembunuhan Utsman diserahkan kepada Amirul Mukminin untuk menuntaskannya.
Lantas, pada malam harinya, kedua pihak beristirahat dalam ketenangan dan kedamaian. Mereka sama-sama menjunjung martabat Islam sebagai agama damai. Baik Ali maupun Aisyah, sama-sama menghendaki keutuhan perdamaian.
Namun, ternyata tidak semua orang dapat tidur tenang pada malam itu. Para perusuh yang terlibat dalam pemberontakan dan pembunuhan Utsman dilanda gelisah dan takut luar biasa. Mereka, yang sesungguhnya bukan bagian dari kedua kelompok yang merayakan perdamaian.
Malam itu mereka tak bisa tidur. Mereka adalah al Asytar al-Nakha’i, Syuraih ibn Awfa, Abdullah ibn Saba yang terkenal dengan sebutan Ibn Sawda, Salim ibn Tsa’labah, dan Ghulam ibn al Haitsam. Mereka merupakan para penyusup dan penebar fitnah, yang selanjutnya berhasil menghasut perselisihan antara pihak Ali dengan pihak Aisyah.
Menurut Syekh Muhammad Said al-Buthi yang mengutip catatan Ibn Katsir, di antara kelompok penebar fitnah itu tak satu pun sahabat Nabi Saw. Dan, di antara para penyusup itu, orang yang paling berbahaya, paling jahat, paling provokatif, adalah Abdullah ibn Saba. Dia bersama komplotan jahatnya menyusup dan bercampur dengan pasukan, baik di pihak Ali maupun Aisyah. Mereka mengobarkan peperangan. Dan, terjadilah kemudian, Perang Unta.
Sungguh keji upaya yang dilakukan Abdullah ibn Saba beserta penyusup jahat lainnya itu. Keadaan saat itu teramat kacau, dan sungguh di luar dugaan siapa pun, baik di pihak Ali maupun pihak Aisyah. Bayangkan, tatkala bangun tidur, orang-orang yang tulus dari kedua pihak, tergeragap tak mengerti, mendapati diri di tengah kecamuk peperangan yang sebetulnya buah rekayasa para penyusup. Pasukan loyal dari kubu Ali dan Aisyah tanpa sedikit pun mengetahui mengapa itu terjadi dan mereka hanya bisa mempertahankan diri dengan menyerang siapa saja yang datang menyerang.