Tidak ada peperangan antara keduanya. Mereka bersepakat menjaga perdamaian dan ketenangan di tubuh umat. Mereka sama-sama bersepakat bahwa segala urusan kisas atas pembunuhan Utsman diserahkan kepada Amirul Mukminin untuk menuntaskannya.
Lantas, pada malam harinya, kedua pihak beristirahat dalam ketenangan dan kedamaian. Mereka sama-sama menjunjung martabat Islam sebagai agama damai. Baik Ali maupun Aisyah, sama-sama menghendaki keutuhan perdamaian.
Namun, ternyata tidak semua orang dapat tidur tenang pada malam itu. Para perusuh yang terlibat dalam pemberontakan dan pembunuhan Utsman dilanda gelisah dan takut luar biasa. Mereka, yang sesungguhnya bukan bagian dari kedua kelompok yang merayakan perdamaian.
Malam itu mereka tak bisa tidur. Mereka adalah al Asytar al-Nakha’i, Syuraih ibn Awfa, Abdullah ibn Saba yang terkenal dengan sebutan Ibn Sawda, Salim ibn Tsa’labah, dan Ghulam ibn al Haitsam. Mereka merupakan para penyusup dan penebar fitnah, yang selanjutnya berhasil menghasut perselisihan antara pihak Ali dengan pihak Aisyah.
Menurut Syekh Muhammad Said al-Buthi yang mengutip catatan Ibn Katsir, di antara kelompok penebar fitnah itu tak satu pun sahabat Nabi Saw. Dan, di antara para penyusup itu, orang yang paling berbahaya, paling jahat, paling provokatif, adalah Abdullah ibn Saba. Dia bersama komplotan jahatnya menyusup dan bercampur dengan pasukan, baik di pihak Ali maupun Aisyah. Mereka mengobarkan peperangan. Dan, terjadilah kemudian, Perang Unta.
Sungguh keji upaya yang dilakukan Abdullah ibn Saba beserta penyusup jahat lainnya itu. Keadaan saat itu teramat kacau, dan sungguh di luar dugaan siapa pun, baik di pihak Ali maupun pihak Aisyah. Bayangkan, tatkala bangun tidur, orang-orang yang tulus dari kedua pihak, tergeragap tak mengerti, mendapati diri di tengah kecamuk peperangan yang sebetulnya buah rekayasa para penyusup. Pasukan loyal dari kubu Ali dan Aisyah tanpa sedikit pun mengetahui mengapa itu terjadi dan mereka hanya bisa mempertahankan diri dengan menyerang siapa saja yang datang menyerang.
Aisyah berseru lantang, “Wahai anak-anakku, hentikanlah, hentikanlah! Ingatlah Allah, ingatlah Allah, dan ingatlah Hari Perhitungan!”
Namun, kedua pihak tetap merangsek maju. Aisyah terus menyeru mereka menghentikan peperangan. Ali pun demikian. Akan tetapi, benar-benar teriakan Ali dan Aisyah tak mampu membendung dan memadamkan api perang. Masing-masing pihak terjebak untuk berusaha menyelamatkan diri dengan menyerang lawan, tidak bisa lain.
Syukurlah kemudian, tidak lama, walau darah telah tertumpah banyak, Ali berhasil mendekat menemui Aisyah dengan wajah cemas, “Bagaimana keadaanmu, Bunda?”