Hal ini tentu ditolak oleh orang-orang SI cabang Semarang yang dimotori Semaoen dan Darsono, juga para partisan komunis lainnya seperti Alimin dan Hadji Mohammad Misbach dari Solo. Mereka bersikukuh tidak mau melepaskan keanggotaan mereka di Perserikatan Komunis Hindia. Tentu pilihan ini mengakibatkan Semaoen dan kawan-kawan wajib keluar dari Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto.
Pemecatan Semaoen dkk. diresmikan dalam Kongres SI yang dihelat di Madiun pada 17-20 Februari 1923. Kongres itu juga menyepakati menjadikan SI sebagai Partai Sarekat Islam (PSI), agar organisasi massa umat Islam terbesar di Indonesia itu memiliki tujuan yang lebih pasti dalam kehidupan kolonial di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda.
Semaoen seperkawanan tidak mau kalah, sebulan paska Kongres SI di Madiun, mereka juga menggelar kongres tandingan pada Maret 1923 di Bandung. Diputuskan bahwa semua cabang SI di Indonesia yang mendukung Semaoen berganti nama menjadi Sarekat Rakyat yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1924.
Dari kilas balik munculnya PKI di Hindia Belanda yang bersinggungan dengan gerakan Islam, lalu terjadi persaingan dan permusuhan, bisa jadi menjadi salah satu penanda terjadinya polarisasi umat Islam menjelang tahun-tahun berat seprti krisis ekonomi dunia tahun 1930 atau juga masa setelah usainya pandemi flu Spanyol yang melanda dunia pada 1918-1920.
Untuk itu, kalau sekarang terjadi lagi, mungkin ada benarnya yang dibilang orang Prancis, bahwa sejarah selalu berulang. Apalagi situasi global dunia sangat mirip saat ini. []
Penulis: Thomi Rifai
Seri tulisan G30S/PKI lainnya: |
---|
[FOKUS] Cara Mudah Jadi Komunis, Bencilah Ajarannya [FOKUS] Gerakan Aktivis Katolik di Sekitar September 1965 |