BARISAN.CO – Kemacetan menjadi kutukan ibu kota. Setiap tahun jumlah kendaraan pribadi meningkat dan memadati ruas jalanan. Meski pemerintah telah jor-joran membangun jalan, cara ini belum bisa mengatasinya.
Gubernur petahana DKI Jakarta, Anies Baswedan, punya 3 strategi utama untuk mengatasi itu. Yakni penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP), pembatasan lalu lintas sistem ganjil genap, dan menambah moda transportasi massal terintegrasi.
Anies dan jajarannya juga merevitalisasi trotoar guna membangkitkan budaya berjalan kaki. Pada 2019, Pemprov DKI Jakarta meluncurkan program Jakarta Ramah Bersepeda. Jalur-jalur khusus dibangun, dan sudah tersedia 63 kilometer jalur sepeda. Tahun ini ditargetkan jalur sepeda menjadi permanen.
Tapi sudahkah kemacetan terurai? Atau, sebelum muncul jawaban berbelit-belit atas pertanyaan itu, sudahkah masyarakat ibu kota punya budaya naik moda transportasi umum daripada kendaraan pribadi?
Transjakarta
Berdasarkan data Transjakarta dari tahun 2004 hingga 2019, jumlah penumpang naik signifikan. Dari yang awalnya hanya 15 juta pelanggan, di tahun 2019 mencapai 262 juta pelanggan. Transjakarta mengklaim jumlah pelanggan setiap harinya mencapai 1 juta.
Transjakarta merupakan sistem transportasi Bus Rapid Transit (BRT) pertama di Asia Tenggara dan Selatan yang beroperasi sejak 2014. Pemrov DKI merancang transjakarta sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas warga ibukota yang sangat padat. Jalur lintasnya sepanjang 251,2 kilometer, memiliki 260 halte dan 13 koridor. Sebelum pandemi, transjakarta beroperasi 24 jam.

Dilansir dari website resmi Transjakarta, disebut bahwa rencananya akan ada kenaikan jumlah pelayanan armada bus hingga 19 persen atau sejumlah 4.334 unit dengan rincian: 967 unit armada BRT, 1.167 Non BRT dan 2.200 bis mikrotrans: Transjakarta.co.id
Sayang, pada Maret 2020, Indonesia dilanda pandemi. Jakarta menjadi episentrum kasus Covid-19. Pemrov DKI membatasi banyak aktivitas. Moda transportasi umum dibatasi jam operasinya. Dan kondisi ini mengakibatkan penurunan jumlah pelanggan Transjakarta.
“Karena ada pandemi, ada penurunan pastinya,” ujar Direktur Pelayanan dan Pengembangan PT Transjakarta Izzul Waro saat dihubungi tim Barisanco, Selasa (12/01/2021).
Penurunan tak hanya terjadi pada transjakarta. Transportasi online seperti Grab dan Gojek juga terkena imbas corona. Menurut penelitian lembaga Statqo Analytics, pengguna aktif transportasi daring mengalami penurunan sejak Maret 2020 lalu, tepatnya saat pemberlakuan Work From Home (WFH).
Pada akhir Februari 2020, pengguna aktif Gojek kisaran 3,3 juta pengguna. Sementara pengguna Grab berkisar 3 juta. Saat memasuki Maret 2020, pengguna aktif Gojek menurun sekitar 14 persen menjadi 2,5 juta pelanggan saja. Sementara Grab turun 16 persen menjadi 2 juta saja.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat pendapatan transportasi online turun hingga 68 persen atau US$3 miliar pada 2020 dari US$10 miliar di 2019.
Data tersebut diperkuat pernyataan Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Susilo Dewanto beberapa waktu lalu. Jumlah pengguna kendaraan pribadi saat PSBB transisi, katanya, hampir sama dengan kondisi normal.
Pengguna sepeda motor mendominasi jalanan ibu kota yaitu sebesar 72,8 persen. Sementara kendaraan roda empat sebesar 26,5 persen dan kendaraan berat seperti bus atau truk 0,7 persen.
“Masyarakat masih khawatir tertular virus saat menggunakan angkutan umum, karenanya masih banyak warga yang memanfaatkan kendaraan pribadi. Apalagi transportasi massal juga masih dibatasi,” kata Susilo dikutip dari berita detik medio Juli 2020.
Pesepeda Meningkat
Menariknya, jumlah pengguna sepeda selama pandemi justru meningkat. Tak tanggung-tanggung, langsung naik 10 kali lipat dibandingkan masa normal. Menurut pengamatan The Insitute for Transportation and Development Policy (ITDP) dari Juni 2020, selama masa PSBB angka pengguna sepeda mencapai 1.000 persen atau 10 kali lipat dari sebelumnya.
Survei perhitungan dilakukan di jam sibuk yaitu pukul 16.30 hingga 8.00 WIB. Lokasinya di beberapa titik seperti Sudirman-Thamrin, Dukuh Atas, Gelora Bung Karno, dan Sarinah.
“Di segmen Dukuh Atas dari Selatan ke Utara (Bundaran Senayan menuju Bundaran HI) pada jam sibuk pagi atau jam kerja, peningkatannya lebih dari 1.000 persen. Di Oktober 2019 hanya 21 pesepeda pada Juni 2020 menjadi 235 pesepeda,” ujar Direktur ITDP Faela Sufa, dikutip dari Republika.
Di segmen Gelora Bung Karno (arah selatan ke utara), dari yang sebelumnya hanya 129 pesepeda menjadi 249 pesepeda. Artinya meningkat sebesar 93 persen.

Jumlah pesepeda di Ibu Kota meningkat seiring kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan Gubernur DKI Anies Baswedan. Ilustrasi: unsplash.com
Meningkatnya jumlah pesepeda bisa dibuktikan dengan naiknya harga sepeda di pasaran. Sepeda lipat yang biasanya hanya Rp1.250.000 pada Juni 2020 naik menjadi Rp2.250.000. Penyebabnya adalah grafik permintaan dari peminat sepeda semakin tinggi, sementara stok barang semakin langka.
Dengan begitu, apakah artinya warga ibukota sudah mulai melirik sepeda untuk pergi beraktivitas? Layaknya seperti di negara-negara maju yang menggunakan sepeda dan jalan kaki untuk pergi ke kantor dan sekolah.
Jika kita melihat jalanan ibukota saat ini, nampak pesepeda lalu lalang di jalanan. Beradu dengan kecepatan mesin kendaraan bermotor dan mobil. Mereka gowes sepeda lengkap dengan atribut seperti helm.
Namun, Ketua Asosiasi Perindustrian Indonesia (API) Rudiyono menilai fenomena ini bersifat sementara. Ia berasumsi peningkatan pengguna sepeda saat ini hanyalah keinginan masyarakat untuk beraktivitas di luar ruangan namun tetap menyehatkan. Banyak ruang publik yang ditutup, ojek online sempat tidak beroperasi, pilihannya menggunakan sepeda. “Jadilah bersepeda sebagai gaya hidup,” ujarnya.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berangkat dengan pakaian dinas lengkap. Ilustrasi: Instagram Anies Baswedan.
Barisanco melakukan survei kecil tentang penggunaan sepeda di Instagram. Dari sekitar 78 responden, sebanyak 64 persen menjawab senang memakai sepeda untuk pergi ke suatu tempat, setidaknya 1-10 kali dalam seminggu. Tapi hanya untuk kesenangan bukan dijadikan transportasi utama untuk pergi ke suatu tempat, misalnya kantor.
Salah seorang pesepeda, Ayu (27) mengaku membeli sepeda hanya untuk menghilangkan kebosanan selama pandemi. Ia membeli sepeda lipa merek Polygon seharga Rp7 juta. Begitu juga dengan Dhea (26) membeli sepeda untuk berolahraga. “Saya jarang pakai sepeda itu, paling gowes saat weekend saja,” ujar karyawan BUMN itu.
Sebanyak 82 persen responden juga memilih kendaraan pribadi dibandingkan angkutan umum untuk bepergian, alasannya karena lebih nyaman dan aman. Apalagi sedang pandemi, mereka khawatir tertular Covid-19.
Kendati demikian banyaknya jumlah orang yang menggunakan moda transportasi massal dan ojek online sebelum pandemi, menunjukkan bahwa hal itu sudah mulai terinternalisasi dalam budaya masyarakat.
Semoga pandemi segera usai, agar banyak masyarakat yang beralih ke moda trasportasi umum. Dan dengan perluasan jalur sepeda oleh Pemrov DKI diharapkan bersepeda bisa menjadi gaya hidup warga ibukota pasca pandemi. Sehingga kualitas udara Jakarta pun semakin baik. []
Penulis: Putri Nur Wijayanti & Yusnaeni
Diskusi tentang post ini