Scroll untuk baca artikel
Blog

Garis  Basquiat

Redaksi
×

Garis  Basquiat

Sebarkan artikel ini

SAYA membaca garis dalam lukisan Basquiat. Sebagaimana garis tangan atau garis hidup. Garis dari pikir dan rasa, dari pengalaman.

Basquiat menggelandang di kota dunia. Dinding New York menjadi kanvas tiada batas. Tak peduli ia menggaris, mural atau grafiti. Ia initialkan nama jalanannya: Samo

Ia tidur di taman kota, dalam kamar kerdus bekas kemasan kulkas.

Sesekali ia pergi ke kafe, menukar lukisan dengan putauw. Ia melayang di keremangan, menikmati garis grafitinya. Lalu seorang gadis pelayan restauran dalam angan meranjang.

Seorang kritikus menemaninya, memamerkan lukisan mulanya dalam pameran bersama. Hingga seorang kurator memberinya fasilitas sanggar. Ia mulai mengekspresikan garis dalam kanvas.

Hingga ia pameran tunggal. Sukses. Dollar mulai ia kantongi, berbagi dengan gelandangan dan gadis jalanan.

Duapuluh tujuh usianya saat ia meninggal karena over dosis.

Ia tak mengalami, lukisannya terjual milyaran dollar. Satu triliunan lebih rupiah. Siapa bisa mengira, ia telah benar menggariskan garis hidupnya dengan bahasanya.

Ya, bahasa lukisan adalah garis. Dan garis tangannya telah menemukan warna hidupnya. Lalu di usia muda ia meninggal dunia.

Sebabnya, di usia itu ia telah menemukan dirinya.***