Scroll untuk baca artikel
Kolom

Kokok Hari Subandi

Redaksi
×

Kokok Hari Subandi

Sebarkan artikel ini

KOKOK Hari Subandi adalah kakak angkatan saya di IKIP-N Semarang jurusan Seni Rupa. Meski usia lebih tua saya, karena saya jebolan STSRI “Asri” Yogya. Seorang mahasiswa yang penuh fitalitas dan eksperimen.

Karyanya yang banyak dibicarakan teman dan dosen ialah, yang ramai diistilahkan ‘gedegisme’. Lukisan dengan media cat yang berupa gedeg atau anyaman bambu dengan karakter gedeg betul.

Kala IKIP-N senirupa mengadakan pameran lukisan mahasiswa dan dosen, karya Kokok cukup diperdebatkan dalam tingkat kurasi. Kokok cukup bersikeras dalam mempertahankan konsepnya. Bahwa menurutnya yang terpenting dalam karya seni adalah konsep.

Dia kemudian membuat perbandingan dengan karya saya yang berupa kolase. Tempelan benda benda keseharian seperti entong dan papan penggilasan. Dia bilang, bahkan karya saya tidak menggunakan media cat sebagai lukisan. Tapi menurut Kokok, lukisan saya berkonsep dan toh lolos kurasi.

Dalam beberapa diskusi seni rupa, pada tahun 1980-an itu, Kokok diakui sebagai ‘singa diskusi’. Auman debatnya cukup disegani oleh perupa Semarang atau dari luar kota. Tentu dengan dasar isme gedeknya itu, yang disamping konsep karakter adalah penahbisan atas karya seni. Lukisan baginya ada dua genre, yakni lukisan dan seni lukis.

Baginya lukisan cenderung gambar yang bertafsir tunggal. Tapi ciri seni lukis memiliki imbasan karakter perupanya dan bersifat multi tafsir. Pemikirannya ini tetap diugemi hingga dia cukup aktif di Semarang Outsider Tan Markaban.

Antaralain saat dia memberi komentar yang mengejutkan atas karya saya. Dituliskannya bahwa, karya saya memiliki garis yang ritmis-magis khas ET, dan mengandung isian atau kandungan bentuk-bentuk tradisi.

Sebelumnya, saya menulis tentang lukisan kanak karya cucu Kokok yang kerap diunggah di Outsider itu. Merupakan karya kanak yang mengejutkan karena kebebasan garisnya yang menyiratkan kemerdekaan artistik-estetik — untuk tidak menyebut keliaran — yang samasekali beda dengan seumumnya gambar kanak-kanak.

Anehnya, karya-karya Kokok, setelah dia pensiun sebagai guru Seni Rupa di satu SLTA di Semarang, sangatlah jauh dari konsepnya. Dia lebih banyak melukis dengan gaya realis yang secara teknis cukup paripurna dengan detail yang mumpuni.

Terutama pada karya karya dengan model tradisi Bali, seperti leak atau penari Bali. Lukisan lukisannya itu cukup berukuran besar, yang tentu membutuhkan energi dinamit. Dalam hati saya berkata, dengan tubuhnya yang tambun dia punya energi itu.

Belakangan saya mendengar, Mas Kokok sakit dan dirawat di rumah sakit. Begitu sembuh dan kembali aktif di Outsider, tampaknya dia memendam kegelisahan untuk kembali ke konsep semula.

Sayang, sebelum niat itu terlaksana, saya membaca status Mas Timur Suprabana: Kokok Hari Subandi telah tutup usia. Moga di sana, dia mempraktekkan kembali konsep dan karakter lukisannya, gedegisme.***