BARISAN.CO – Video Klip salah satu lagu Denny Cak Nan yang terbaru yang berjudul ‘Gak Pernah Cukup’ banyak mengeksplor Keindahan alam kawasan Gunung Puntang, Cimaung, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Kawasan Gunung Puntang belakangan memang menyedot banyak perhatian publik setelah Musisi Anji banyak menghabiskan waktunya di kawasan bekas reruntuhan Stasiun Radio Malabar, Stasiun media komunikasi nirkabel pertama di dunia yang mampu menjangkau jarak antar benua.
Secara umum, kawasan wanawisata Gunung Puntang saat ini merupakan hutan pinus dan hutan campuran yang dikelola Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan.
Keindahan alam berupa lembah gunung menjadi daya pikat pemandangan. Keindahan tersebut, sebenarnya sudah menjadi daya tarik sejak zaman kolonial Belanda ketika Stasiun Radio Malabar tersebut mulai dibangun sekitar tahun 1917-1918.
Terletak di selatan Bandung arah persimpangan ke Cimaung-Banjaran dan Pangalengan, Gunung Puntang memiliki sejumlah pesona keindahan alam sekaligus menjadi salah satu tempat bersejarah dunia.

Proyek pembangunan Stasiun Radio Malabar dirancang oleh Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot, seorang ahli teknik elektro lulusan sebuah universitas di Karlsruhe, Jerman. Pembangunan Stasiun Radio Malabar dimulai sejak tahun 1916.
Situasi Perang Dunia I yang tidak memungkinkan ketersediaan kabel karena rentan secara teknis dan politis, memunculkan ide untuk menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda secara nirkabel. Maka koneksi gelombang panjang pun dipilih.
Generator dipasok oleh Smit Slikkerveer. Sementara, Willem Smit & Co’s Transformatorenfabriek menjadi pemasok kumparan besar dan beberapa trafo. Sebagai pendukung tenaga listrik, dibangun PLTA Dago, PLTA Plengan dan PLTA Lamadjan, serta PLTU di Dayeuhkolot.
Antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2 kilometer, membentang di antara gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Antena dirancang pembangunannya mengarah ke Negeri Belanda yang berjarak 12.000 kilometer dari Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia.
Malabar menjadi wilayah yang dipilih mengingat lokasi yang strategis dan memiliki sinyal yang paling kuat diantara wilayah lainnya. Kaki Gunung Puntang yang berupa ngarai sebagai lokasi berdirinya Radio Malabar pun tentu tidak asal tunjuk. De Groot berpendapat bahwa Gunung Puntang dan Gunung Halimun yang mengapit ngarai cocok untuk dijadikan dudukan pemancar gelombang radio.

Selanjutnya, guna membangkitkan ribuan kilowatt gelombang radio dengan panjang gelombang 20 kilometer sampai 75 kilometer, digunakan teknologi ‘busur listrik’ untuk pemancar telegraf dan telepon radio, yang membutuhkan tenaga 750 Volts dan daya 1 MA.
Jadilah Stasiun Radio Malabar dilengkapi dengan 2 arc transmitter berkekekuatan 2.400 KW dan diklaim menjadi transmitter terkuat di dunia yang pernah dibuat pada masa itu. Selain Bangunan Stasiun Radio Malabar, turut pula dibangun beberapa fasiltas yang diperuntukan bagi pegawai Radio, diantaranya rumah tinggal para pimpinan dan pekerja Radio Malabar, Lapangan tenis, fasilitas jalan, dan penampungan air bersih.
Banyak rintangan dalam proses pembangunan Stasiun Radio Malabar ini, Seperti badai tropis dengan kilatan-kilatan petir yang merusak sejumlah peralatan penting termasuk pemancar. Hingga akhirnya pada 5 Mei 1923, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock meresmikannya dengan cara mengirim pesan telegraf radio kepada Ratu Belanda dan Menteri Urusan Koloni.
Perkembangan dan proses operasional Stasiun Radio Malabar terus berlangsung sampai pada 1929, ketika William Frederik Christiaan Dieben alias Willy Derby menyanyikan lirik lagu ‘Hallo Bandoeng’ dari Stasiun Radio Kootwijk Belanda yang disiarkan langsung untuk didengarkan pemirsa Radio Malabar di Hindia Belanda (Indonesia).
Pada 1942, kabar mengenai serangan Jepang ke Indonesia membuat pengurus Radio Malabar resah. Semakin hari, kabar tersebut semakin berujung pada kenyataan. Oleh karena itu, guna menyelamatkan stasiun radio dari pihak lain, khususnya Jepang, salah satu pejabat Radio Malabar, Van der Berg, mulai menghancurkan beberapa peralatan penting di sana. Hal ini bertujuan, bila memang nanti jatuh ke tangan bangsa Jepang, Radio Malabar tak akan berfungsi sama sekali.
Meski demikian, Menurut Ridwan Hutagalung, penggiat sejarah Bandung, seperti ia kutip dari Pemberontakan Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan (1996) karya Ahmad Mansur Suryanegara, Stasiun Radio Malabar sempat menjadi media propaganda Jepang dengan melakukan kontak dengan Hooshoo Kanri Kyoku di berbagai daerah lain di daerah pendudukannya.
Saat peristiwa Bandung Lautan Api yang bermula sejak 1945, berimbas pada Gedung Stasiun Radio Malabar ikut dihancurkan masyarakat di tahun 1946. Kawasan yang dibangun megah itu menyisakan puing-puing tak terawat.
Bekas-bekas kejayaan Stasiun Radio Malabar masih bisa dilijat, terdapat bekas-bekas lapangan tenis, kolam renang, bekas bioskop, bekas toko, dll. Tentu saja, berbagai fasilitas lengkap tersebut, ditujukan agar para pegawai Stasiun Radio Malabar dahulu menjadi betah tinggal di daerah terpencil.

Apa yang telah dicapai Stasiun Radio Malabar pada waktu itu merupakan prestasi tersendiri yang patut dicatat oleh sejarah perkembangan radio dunia. Dengan semua teknologi yang diterapkan Radio Malabar kala itu, ternyata berhasil membuka komunikasi langsung dari Indonesia ke Negeri Belanda. Bahkan Ratu Belanda juga sempat mengudara dan disiarkan secara langsung oleh Stasiun Radio Malabar.
Stasiun Radio Malabar secara tidak langsung terkait dengan perkembangan komunikasi radio di tanah air. Radio Malabar juga dapat dikatakan sebagai titik ujung dari sejarah berbagai aktifitas komunikasi modern di Indonesia. Karena dalam riwayatnya, jaringan komunikasi yang melibatkan Radio Malabar turut menjadi latar belakang berdirinya organisasi yang disebut PTT, yang menjadi cikal bakal berdirinya PT. Telkom Indonesia dan PT. Pos Indonesia yang saat ini berkantor pusat di Kota Bandung. []
Penulis: Busthomi Rifa’i
Diskusi tentang post ini