Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Gus Baha: Fikih itu Senam Otak

Redaksi
×

Gus Baha: Fikih itu Senam Otak

Sebarkan artikel ini

Kenapa kok sampai ada garis keras, ya, karena beragama dimulai dari keinginan ideal. Itulah kelirunya. Padahal, sekali lagi, agama itu dimulai dari komitmen, dari niat.” tandas Gus Baha.

Kembali ke soal fikih, Gus Baha membeberkan bahwa dari dulu perbedaan dan perdebatan itu hal biasa. Imam Malik punya murid Imam Syafi’i. Beliau-beliau itu berbeda dalam banyak hal. Contoh begini, tatkala mereka menanggapi kasus: Nabi saw menghukum berat, yaitu harus memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut, kepada seseorang yang sengaja berhubungan suami-istri di siang hari pada bulan Ramadan.

Imam Malik berpikir: pasangan suami-istri yang berhubungan intim itu adalah sesuatu yang boleh, tidak haram. Oleh karenanya, semestinya tidak hanya soal hubungan intim yang dihukumi berat. Semestinya berlaku sama atas segala yang boleh tapi terlarang pada saat Ramadan. Misal, siang hari di saat berpuasa ramadan, kita sengaja makan, sepatutnya juga mendapat sanksi berat untuk memerdekakan budak, atau memberi makan orang miskin, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagaimana yang berlaku pada kesengajaan berhubungan suami-istri.

Imam Syafi’i berpikir beda, bahwa sejak dulu berhubungan suami-istri itu beda. “Misal kita bertamu, dan kita makan di depannya itu boleh. Tapi kalau kita berhubungan suami-istri di depannya, jelas ‘nemen ngawure’.” canda Gus Baha yang membahasakan cara berpikir Imam Syafi’i. Dalam mazhab Syafi’i, hubungan intim pasangan suami-istri itu beda dengan makan.

Selanjutnya muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya kalau makan dahulu, baru berhubungan suami-istri?” sontak ger-geran hadirin, menyimak Gus Baha membolak-balikkan kerumitan dalam fikih.

Begitu pula perdebatan mazhab Hanafi dengan mazhab Syafi’i tentang kebolehan musafir membatalkan puasa. “Ada orang, jam segini (siang hari) langsung makan akan kena sanksi. Ya, sudah pergi saja dulu, pura-pura ngaji ke Gus Baha, jadi musafir kan! Sehingga boleh makan. Padahal, ia sengaja pergi itu supaya boleh makan. Lha wong nggak kepikiran ngaji kok tiba-tiba ikut ngaji. Maka, dibabkanlah apakah boleh merekayasa fikih?

Alhasil, perbedaan itu benar-benar tidak mungkin tidak. Seperti halnya khilafiyah penetapan awal ramadan antara NU dengan Muhammadiyah. “Begini, tahun 2001 itu abad berapa? Abad ke-21 atau ke-20?” tanya Gus Baha.

Abad ke-21.” jawab hadirin.

Jadi, meskipun terpaut setahun, padahal abad itu seratus tahun. Nah, pikiran orang-orang Muhammadiyah seperti itu. Hilal kalau sudah melewati garis ufuk, meskipun setengah derajat atau satu derajat, itu sudah ikut bulan berikutnya. Namun, pikiran orang NU tidak, harus ru’yah bi al-fi’li. Harus melihat langsung.