Barisan.co – Segala ruang dan seisinya merupakan sumber belajar, tinggal kemauan untuk memetiknya. Sehingga belajar adalah sebuah proses untuk mendapatkan pemahaman dan cara menafsirkan ruang dan isinya.
Secara institusional belajar yakni untuk mengembangkan kemampuan kognitif, sehingga siswa atau peserta didik seberapa besar atau banyak ia memahami materi. Semakin ia memahami maka semakin banyak pula informasi yang ia dapatkan.
Namun belajar bukanlah sekadar menghafal materi-materi, fakta maupun beragam informasi. Belajar merupakan sebuah proses untuk memperoleh pengalam tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Pandangan Islam menyatakan bahwa belajar merupakan proses hingga sampai liang lahat atau mati. Belajar itu bukan sekolah, ia hanya ruang kecil untuk mendapatkan fakta-fakta dan informasi.
Oleh karena itu pengalaman belajar bagi siswa harus dapat mendorong agar siswa beraktivitas melakukan sesuatu. Aktivitas ini tidak terbatas hanya pada aktivitas fisik saja, akan tetapi juga meliputi aktivitas yang bersifat psikis seperti aktivitas mental.
Banyak hal yang didapat, diingat lalu ia akan hilang dalam beberapa jam. Mempelajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya.
Begitupun seorang guru tidak dapat serta merta menuangkan segala sesuatu kedalam benak siswanya, karena mereka sendirilah yang harus menata apa yang mereka dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermakna.
Berikut ini kita mengambil sari hakekat belajar dari generasi terdahulu, generasi para sahabat tercinta. Mereka adalah generasi yang sangat perhatian dalam semangat belajar, mengajar, maupun mendidik anak.
1. ‘Uqbah bin Abi Sufyan
Al Jahizh telah meriwayatkan bahwasanya ketika ‘Uqbah bin Abi Sufyan menyerahkan anaknya kepada seorang guru, ia mengatakan, “Hendaklah yang pertama kali Engkau lakukan untuk memperbaiki anakku adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena penglihatan mata mereka adalah tertumpu pada penglihatanmu; apa yang baik pada mereka adalah apa yang menurutmu dianggap baik, dan yang jelek pada mereka adalah apa yang menurutmu dianggap jelek.
Ajarkanlah kepada mereka biografi orang-orang bijak dan akhlak orang-orang berbudi; ancamlah mereka dengan diriku dan didiklah mereka tanpa membandingkan dengan diriku; Jadilah Engkau seorang dokter yang tidak memberikan resp obat sampai mengetahui penyakit yang diderita pasien; janganlah Engkau membatasi hanya kepada sesuatu yang tidak bisa aku lakukan, karena sesungguhnya aku telah mempercayakan sepenuhnya akan anakku.”
2. Harun Al Rasyid
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menceritakan, bahwasanya ketika Harun Al Rasyid menyerahkan anaknya, Al-Amin kepada seorang guru, ia mengatakan,”Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu belahan jiwa dan buah hatinya.
Maka, bukalah tanganmu atasnya lebar-lebar dan ketaatanmu kepadanya adalah kewajiban; tetaplah kamu bersamanya sebagaimana kamu kepada Amirul Mukminin; bacakan kepadanya Al Qur’an dan ajarkanlah hadis-hadis; riwayatkanlah kepadanya syair-syair dan ajarkanlah kepadanya sunnah; perlihatkan kepadanya fenomena fenomena dan dasar-dasar ilmu kalam; laranglah dirinya tertawa bukan pada waktunya;
Janganlah ia bertemu denganmu sesaat saja kecuali kamu menyampaikan kepadanya pelajaran-pelajaran yang dapat diambilnya, dengan tidakmenyembunyikannya sehingga pikirannya menjadi mati; janganlah kamu biarkan dirinya berleha-leha,sehingga ia suka nganggur dan bersenang-senang; luruskanlah dirinya sesuai kemampuanmu dengan pendekatan yang lembut; jika ia menolaknya maka lakukanlah dengan kekerasan.”