Scroll untuk baca artikel
Blog

Handry TM

Redaksi
×

Handry TM

Sebarkan artikel ini

PADA 1987 beberapa penyair Jawa Tengah diundang dalam Temu Penyair Nusantara di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dari Semarang saya dan Handry TM berangkat, tanpa Timur Suprabana yang pilih tidak hadir.

Sebelumnya dari undangan tertulis, ada memo supaya kami mengambil uang sangu dari Pemda. Kami pun ke kantor Pemprov Jateng di Jl Pahlawan. Kami diterima oleh Sekda pada waktu itu. Tapi ada kekeliruan, kami dianggap sekadar mau minta sumbangan.

Setelah clear bahwa kami para penyair yang mewakili Jawa Tengah, terjadi tanya jawab formal. Puisi apa yang akan kami bacakan. Karena yang bertanya sudah tua, saya jawab, puisi saya tentang orang tua yang sudah pikun dan mesti kami hormati. Dijawab, ya baiklah yang penting tidak mengandung SARA. Ingat, saat itu pemerintahan orde baru Soeharto.

Kami berdua, saya dan Handry, berangkat dari Stasiun Tawang mau naik KA malam. Pemberangkatan kami nyaris gagal, sebab dinyatakan tiket habis. Untung ada Handry yang segera menunjukkan Kartu Pers sebagai wartawan Suara Merdeka. Sehingga kami mendapat fasilitas tiket istimewa di kereta makan. Jadilah, sepanjang perjalanan Semarang-Jakarta kami ngemil melulu.

Nama asli Handry, Handrio Utomo. Saya mengenal Handry dan Timur sejak 1981, sebagai sesama penulis. Rumah mereka berdekatan di daerah Pamularsih. Sehingga kalau saya ke rumah Timur, kami acap singgah ke rumah Handry.

Seorang pribadi yang santun dan rendah hati, hampir tanpa perlawanan dalam ngobrol saling kritik. Kami bertiga menulis sama, berbagai bentuk tulisan. Puisi, Cerpen, artikel, dll, lebih kerap di Suara Merdeka. Terlebih, Handry pernah duduk sebagai redaktur budaya.

Saya mengenal tulisan Handry sebagai karya berciri pop romantik. Itu sebabnya dia banyak menulis cerpen pop remaja. Dari itu dia menjadi pimpinan redaksi majalah Pop Remaja, masih senaung Suara Merdeka.

Puisi yang dibacakan di Teater Arena TIM pun sajak yang bernuansa pop romantik itu. Berbeda dengan puisi saya yang kala itu masih panjang dan berciri kritik sosial. Jadi lengkaplah, dari Jateng terwakilkan dua jenis puisi yang berbeda. Berbeda pula puisi Sisdiono Ahmad dari Tegal.

Penyair 1980-an itu, kami seangkatan dengan Afrizal Malna, Radhar Panca Dahana, Acep Zamzam Noor, dll. Wiji Thukul tidak diundang, tapi dia hadir dan acap baca puisi sambil ngamen saat rehat di Wisma Seni.

Belakangan Handry kita kenal sebagai Ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase). Saat itu kondisi kesehatannya mulai menurun. Hingga saya mendengar kabar dia acap masuk RS. Terakhir saya mendapat kabar dia koma selama beberapa hari.

Melalui Aris Wijayanto saya mengusulkan supaya Dekase mengadakan lelang lukisan dan penjualan buku karya seniman Semarang. Tak lain sebagai ujud perhatian kami sekaligus untuk meringankan beban keluarga Handry. Tapi setelah tiga hari berselang, oleh satu dan lain hal acara itu tidak terselenggara.

Hingga hari ini, Jumat 24 Februari 2023 jam 11.30, saya membaca berita, Handry TM telah berpulang. Ikut berduka, moga arwahnya diterima di sisi Allah, dan bagi yang ditinggalkan dikuatkan imannya. Moga pula nanti kita bisa berkereta malam lagi ya, Hand, di kereta makan. Sambil nyemil di sepanjang perjalanan penyair mau baca puisi di pusat kesenian.*