Angka ini menunjukkan sektor pertanian bergerak lebih lambat dibanding sektor lain seperti industri pengolahan dan perdagangan.
Kontribusi pertanian terhadap PDB juga semakin mengecil, dari sekitar 13,5 persen pada 2015 menjadi di bawah 12 persen pada 2025.
Kondisi tenaga kerja juga tidak kalah memprihatinkan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 berada di kisaran 5,3 persen.
Namun, di balik angka tersebut, terlihat fenomena pergeseran tenaga kerja ke sektor pertanian sebagai pilihan terakhir.
Banyak pekerja dari sektor industri dan konstruksi yang terdampak pelemahan investasi akhirnya beralih menjadi buruh tani atau pekerja informal di desa.
Sektor pertanian bukan lagi pilihan utama, melainkan sekadar ruang menampung kelebihan tenaga kerja akibat minimnya lapangan kerja formal.
Persoalan ini semakin kompleks karena pendapatan petani masih jauh tertinggal. Nilai Tukar Petani (NTP), indikator kesejahteraan petani, sepanjang 2024 bergerak tipis di kisaran 110, menandakan bahwa daya beli petani tidak mengalami peningkatan signifikan.
Dibandingkan Selandia Baru, di mana pendapatan rata-rata petani lebih tinggi daripada pekerja kantoran, kondisi di Indonesia justru terbalik.
Petani tetap identik dengan kemiskinan, sementara sektor pertanian hanya menjadi bantalan ekonomi ketika sektor lain melemah.
Selain itu, kebijakan subsidi input masih menjadi sorotan. Pemerintah menggelontorkan sekitar Rp40 triliun-Rp50 triliun per tahun untuk subsidi pupuk.
Namun, kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif karena rawan kebocoran dan salah sasaran. Usulan untuk mengalihkan subsidi dari input ke output semakin menguat.
Misalnya, pemerintah menjamin harga gabah Rp8.000 per kilogram dengan kepastian pembelian oleh Bulog. Mekanisme ini diyakini lebih adil karena memberikan kepastian pendapatan bagi petani sekaligus menekan fluktuasi harga.
Masalah rantai distribusi semakin memperburuk keadaan. Produk pertanian seringkali dijual mentah langsung ke pedagang besar tanpa ada pengolahan, sehingga ketika panen raya harga jatuh karena konsumsi relatif tetap.
Hilirisasi sederhana, seperti mengolah tomat menjadi saus, cabai menjadi sambal botolan, atau jagung menjadi pakan ternak, dapat meningkatkan nilai tambah sekaligus memperpanjang daya simpan. Sayangnya, perhatian pemerintah pada hilirisasi pertanian masih jauh tertinggal dibanding sektor tambang.
Di sisi lain, ketergantungan pada impor masih tinggi. Sekitar 90 persen bawang putih di Indonesia berasal dari impor, terutama dari Tiongkok. Kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe juga mayoritas didatangkan dari luar negeri.