Rokok tak lagi hanya tentang nikotin, tapi juga strategi pemasaran canggih yang menyasar anak-anak dengan rasa buah dan kemasan lucu.
BARISAN.CO – Menjelang peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025, kekhawatiran terhadap agresivitas industri rokok dalam memasarkan produk kepada anak dan remaja semakin menguat.
Berbagai taktik pemasaran manipulatif, mulai dari penggunaan influencer, desain produk menyerupai makanan atau permen, hingga penggunaan rasa buah dan kopi, dinilai berhasil menjerat anak muda untuk mencoba rokok.
Situasi ini mencuat dalam acara Media Luncheon bertajuk “Ngobrol Bareng Jurnalis Menyambut HTTS 2025” yang digelar Lentera Anak dan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), di Jakarta, 29 April 2025.
Para pegiat kesehatan masyarakat mendesak pemerintah segera mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang telah disahkan sejak 26 Juli 2024 namun belum diterapkan.
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menyoroti taktik pemasaran industri rokok yang sengaja menargetkan anak-anak dan remaja dengan cara menormalisasi produk tembakau.
“Industri rokok menjadikan varian rasa sebagai daya tarik utama. Survei kami bersama u-Report tahun lalu menunjukkan 46,5 persen anak muda mengingat rasa sebagai elemen paling menarik dari rokok,” ujar Lisda.
Ia menyebutkan setidaknya ada 847 varian rasa rokok yang sudah beredar di Indonesia, dominan berupa rasa buah, mentol, kopi, hingga teh.
“Penggunaan rasa buah sangat cerdik karena memberi kesan aman dan sehat. Padahal, ini justru menyamarkan bahaya nikotin,” tegasnya.
Selain itu, produk rokok dirancang dalam bentuk mungil, lucu, dengan karakter kartun, dan dijual murah secara daring.
Hal ini semakin memperparah maraknya perokok anak, apalagi di tengah ketiadaan implementasi PP Kesehatan yang seharusnya membatasi peredaran rokok berperisa dan iklan di media sosial.
Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto, turut mengkritisi belum dijalankannya aturan pengamanan zat adiktif dalam PP Kesehatan.
“Pemasaran rokok elektronik saat ini benar-benar liar. Mereka meniru kemasan makanan anak-anak, bahkan mencantumkan kandungan nutrisi untuk memberi kesan sehat,” ujar Bigwanto.
Ia menambahkan, promosi rokok elektronik juga menggandeng influencer populer seperti Anya Geraldine dan Andre Taulani, serta mengutip akademisi yang mengklaim rokok elektronik lebih aman.
Bigwanto menyoroti keterlibatan sejumlah dosen di Universitas Padjadjaran yang mendirikan CoEHAR Indonesia, yang diduga mendapat pendanaan dari Philip Morris International.
“Ini bukti betapa kuatnya narasi keliru yang disebar industri rokok, dan bagaimana mereka memanfaatkan celah regulasi yang belum ditegakkan,” kata Bigwanto.