Outsourcing, PHK, hingga korupsi: semua jadi sasaran tembak buruh pada Hari Buruh 2025.
BARISAN.CO – Dalam peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, ratusan ribu buruh dari berbagai elemen melakukan aksi damai di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Aksi ini juga dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) selaku penggagas aksi menyampaikan enam tuntutan utama dalam peringatan Hari Buruh tahun ini.
Enam tuntutan tersebut adalah: penghapusan sistem outsourcing, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, realisasi upah layak, pengesahan RUU Perampasan Aset untuk pemberantasan korupsi, dan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK).
Isu outsourcing kembali menjadi sorotan utama. Presiden KSPI, Said Iqbal, menegaskan bahwa sistem ini telah merugikan pekerja karena tidak memberikan jaminan karir, upah layak, maupun perlindungan sosial sebagaimana pekerja tetap.
Sistem outsourcing diatur dalam Pasal 64 dan 66 UU No. 13/2003 yang juga menjadi salah satu target revisi dalam tuntutan buruh tahun ini.
Data dari Jurnal LEMHANAS RI tahun 2023 menyebutkan bahwa sistem outsourcing membuat pekerja berada dalam posisi yang lemah karena kontrak kerja tidak tetap, upah lebih rendah, minim jaminan sosial, serta tidak adanya jenjang karir yang jelas.
Tuntutan lain yang menonjol adalah pembentukan Satgas PHK, menyusul meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja yang mencapai 18.610 kasus hanya dalam kurun Januari hingga April 2025.
Para buruh berharap Satgas ini bisa memastikan proses PHK tidak dilakukan secara sepihak dan tetap sesuai aturan.
Menanggapi tuntutan-tuntutan tersebut, ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, menyampaikan pandangannya. Ia menyatakan bahwa aspirasi buruh merupakan hal wajar dan layak diperjuangkan, khususnya oleh konfederasi maupun serikat pekerja yang mewakili kepentingan buruh.
Namun, ia mengingatkan bahwa dalam proses negosiasi, para pemimpin buruh juga perlu mempertimbangkan konteks jangka menengah dan panjang.
“Outsourcing sudah lama menjadi persoalan dan memang dalam banyak kasus relatif merugikan pekerja,” ujar Awalil.
Ia menambahkan, sistem outsourcing tidak sepenuhnya buruk di semua negara. Bahkan di Amerika Serikat sekalipun, praktik ini tetap eksis.
Menurutnya, daripada menunggu proses legislasi yang lama, sebaiknya ada perbaikan pengaturan sistem outsourcing dalam jangka pendek.
Terkait tuntutan upah layak, Awalil menekankan perlunya pelibatan berbagai pihak. Pemerintah sendiri telah berupaya melalui kebijakan penetapan upah minimum, meski tetap harus memperhatikan kondisi perusahaan dan prospek ekonomi nasional.