Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

He’s All That, Kisah Influencer yang Hidup dalam Kepalsuan & Kehilangan Segalanya

Redaksi
×

He’s All That, Kisah Influencer yang Hidup dalam Kepalsuan & Kehilangan Segalanya

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Di era saat ini, tak jarang orang berlomba untuk menyembunyikan identitasnya demi ketenaran. Mereka beranggapan identitas itu akan menjadi aib dan membuat dirinya tak lagi disukai terutama oleh pengikutnya di media sosial.

Dorongan ingin diakui membuat orang-orang tersebut berubah menjadi orang lain. Tak lagi menjadi diri sendiri. Hal itu dialami oleh Padgett Sawyer (Addison Rae) dalam film He’s All That yang disutradarai Mark Waters.

Padgett adalah anak remaja perempuan yang hidup tak jauh dari media sosial. Film He’s All That menceritakan kisah Padgett sebagai influencer.

Sama seperti umumnya influencer, kehidupan Padgett adalah kehidupan yang berbingkai. Kadang berbingkai kebohongan, kadang berbingkai kebaikan semu, dan sering kali berbingkai kepalsuan.

Padgett misalnya berbohong dengan mengaku tinggal di apartemen mewah padahal bukan. Ia juga mengekspose beragam kebohongan patologis lainnya dan dengan cara itulah ia mendapatkan banyak pengikut di media sosial.

Pada suatu titik, Padgett dikhianati oleh pacarnya. Konflik terjadi di antara mereka. Padgett yang merasa tak betah dengan itu, kemudian melakukan spill over pengakuan kepada pengikut media sosialnya, bahwa selama ini ia hidup di dalam sebuah kepura-puraan. Ia pun mengakui semua kebohongan yang ia lakukan agar dapat kembali menjalani kehidupan normal.

Terdengar tidak asing tentu saja. Tapi kenapa ya orang-orang rela hidup dengan kepalsuan di media sosial?

Melihat kehidupan orang lain di media sosial terkadang membuat ternganga. Terlihat begitu sempurna dan menjadi tujuan bagi sebagian orang. Namun begitu, beberapa di antara mereka hidup dengan kepalsuan. Ada berbagai alasan mengapa orang menjadi palsu di media sosial, di antaranya adalah: tekanan masyarakat, kompetisi, dan egosentrisme.

Pertama, adanya tekanan di tengah masyarakat begitu tinggi memaksa mereka menyesuaikan diri dengan cara berpura-pura.

Hal itu misalnya dengan masuk ke toko pakaian bermerek hanya untuk sekadar mengambil foto dan membagikannya dengan hastag #TimetoShopping. Beberapa orang juga menyembunyikan sesuatu seperti status sosialnya. Beberapa bahkan berupaya melakukan mark up dari status asli mereka agar dikagumi oleh para pengikutnya.

Kedua, adanya kompetisi di media sosial. Pengguna medsos selalu ingin menunjukkan bahwa diri mereka lebih baik dari orang lain. Maka tak heran jika ada yang rela menumpuk utang demi bergaya dan menunjukkannya di media sosial.

Ketiga, media sosial membuat sebagian orang haus akan ketenaran. Orang-orang bekerja keras untuk mendapat suka dan komentar. Mereka berpikir jika mendapatkan itu semua, mereka akan masuk ke lingkaran pertemanan yang baru. Tentunya, membuat mereka menuju tujuannya untuk lebih tenar.

Menurut Pew Research, postingan media sosial dapat memberikan dampak negatif bagi pengikutnya yaitu 49 persen mengalami depresi dan 31 persen lainnya terkadang merasa kesepian setelah melihat konten tertentu. Untuk mengatasi itu, para pengguna media sosial diminta untuk mengurangi penggunaan media sosial terutama postingan orang lain.

Awalnya tujuan media sosial ialah agar individu tetap terhubung dengan keluarga dan temannya. Namun seiring berjalannya waktu, media sosial mengubah seseorang menjadi orang lain.

Padgett dalam Film He’s All That mengajarkan kita bahwa obsesi terhadap media sosial membuatnya kehilangan jati diri termasuk orang-orang yang tulus mencintainya.

Tentu saja jawaban dari persoalan itu adalah dengan menjadi diri sendiri. Segalanya akan jauh lebih baik dan mudah jika kita tidak berpura-pura menjadi orang yang bukan diri kita. [dmr]