BARISAN.CO – Kita dapat dengan mudah menemukan baliho elite politik berukuran 5×10 meter yang menyampaikan pesan terkait pandemi. “Ingat 3M, Ingat Pesan Ibu,” kata mereka—namun bagi kita yang mampu membaca makna di balik pesan, tentu mafhum bahwa baliho tersebut sejatinya tidak sedang bicara pandemi sama sekali.
Kita juga bisa dengan mudah menemukan baliho elite yang menyampaikan frasa-frasa tendensius seperti ‘Kepak Sayap Kebhinnekaan’, ‘Kerja untuk Indonesia’, ‘Padamu Negeri Kami Berbakti’, atau yang lainnya. Baliho yang banyak muncul di tikungan kota itu bertujuan sama: tidak lain untuk melayani diri para elite itu sendiri.
Belakangan ini, baliho diintai dengan penuh kecurigaan dan dikritik habis-habisan. Pada umumnya, masyarakat mengkritik lantaran sulit menemukan korelasi antara baliho dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang sedang terjadi.
Baliho dipandang sebagai simbol kemubaziran tertinggi di tengah bencana melanda negeri. Alasannya, biaya pasang baliho yang tidak murah itu mestinya dipakai untuk membantu rakyat yang kesusahan.
Tapi toh para elite tetap memilih tampil. Baliho-baliho mereka seolah berperang dan saling meniadakan satu sama lain di pinggir jalan. Dilihat dari ukuran baliho yang luar biasa gigantis, bisa jadi tujuan mereka (mendongkrak elektabilitas demi meraih masa depan politik yang cerah) sudah mencapai titik yang dalam agama Buddha disebut ‘berkeinginan’, dalam agama Nasrani disebut ‘hasrat’, dan dalam Islam disebut ‘nafsu’.
Problemnya, sebagian besar wajah yang tampil dalam baliho adalah pengambil keputusan di negeri ini. Secara semiotik hal ini agaknya mengandung ironi.
Banyak rakyat kecil yang harus berjuang keluar dari dampak ekonomi, kesulitan akses pendidikan, kehilangan pekerjaan, bahkan kesulitan makan. Rakyat butuh kehadiran nyata para pemimpin yang datang membawa seperangkat kebijakan yang berpihak, bukan kehadiran semu lewat baliho yang justru menegaskan bahwa para pemimpin itu tak memiliki masalah sebagaimana rakyatnya.
Kenapa bisa demikian? Mari kita cermati. Nyaris tidak ada gurat kesusahan dalam wajah baliho mereka. Hampir semua sama antara satu dengan yang lain. Wajah cerah, tembem, makmur, dan senyuman yang mereka tunjukan secara langsung menegaskan bahwa standar kehidupan mereka jauh lebih tinggi dibanding rata-rata orang yang bergelantungan di sekitar garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan pada Maret 2021 tercatat sebesar Rp472.525/kapita/bulan. Dan ada sebanyak 27,93 juta orang di Indonesia yang harus mencukup-cukupkan diri untuk hidup dengan uang segitu dalam satu bulan.
Sementara, bagi elite cum pejabat publik yang wajahnya sering kita lihat terpampang di baliho, jumlah segitu bisa berarti hanya bagian kecil dari uang ketip sehari-hari yang bahkan tidak mereka sadari keluar dari kantongnya.
Adapun untuk urusan kesehatan, para pejabat tentu tak khawatir karena akan selalu ada fasilitas kelas satu yang menunggu mereka kalau terjadi apa-apa. Dalam upaya perawatan sehari-hari, ada makanan bergizi dan suplemen dan vitamin yang tersedia di dapur rumah-rumah mereka.
Itu belum menghitung fasilitas-fasilitas penunjang kehidupan yang tersedia bagi mereka. Kalau boleh tahu, berapa sih gaji mereka sebulan? Mari kita cek bersama. Anda simpulkan sendiri.