Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Hijrah: Mengolah Pustaka Hidup

Redaksi
×

Hijrah: Mengolah Pustaka Hidup

Sebarkan artikel ini

Termasuk sampai hari ini, saya dan Rahma belum berkeinginan (selain karena apa daya, duit tak sampai) untuk mengeraskan sepetak halaman rumah, memang hanya secuil, dengan semen atau paving block. Memang becek jadinya, tapi itu lebih berasa di hati ketimbang membetonnya. Kaki ini, ketika tanpa alas kaki, berasa nikmat saat bersentuhan dengan tanah dan rumput, serta terbit sikap penghormatan yang tinggi kepada bumi.

Saya acap memperhatikan Rahma, tampak impresi menyapu rontokan daun-daun yodium, mencabuti rumput-rumput yang mulai liar, dan menyiangi daun adenium, kemuning, pucuk merah, atau bidara.

Artinya, saya beruntung mengenal Charlotte Mason. Kami sekeluarga bersyukur lantaran kini berkomunitas dengan para praktisi metode Charlotte Mason. Tidak hanya soal alam yang telah mengembalikan sikap hidup yang lurus.

Tetapi juga terhadap pilihan buku. Pola belajar yang tidak lagi saklek, mesti bertarget seperti kurikulum sekolah. Termasuk harus me-review tujuan berkeluarga. Target pendidikan. Pola asuh. Dan seterusnya.

Ya, hijrah saya dan Rahma, serta anak-anak. Hijrah kami. Bahwa kemuliaan hidup berkeluarga bukan dari seberapa berlimpah sarana materi memenuhi ruangan rumah. Bukan dari seberapa banyak perabot dan perangkat elektronik menyesakki ruang tamu dan kamar tidur kami.

Melainkan, terukur dari seberapa siap menjalani hidup bersahaja. Kenikmatan menempuh sehari-hari secara bersahaja. Tidak lagi menganggapnya sebagai “cobaan hidup”: berputus asa, memaki-maki keadaan, dan penuh prasangka jahat kepada Tuhan.

Kebahagiaan berkeluarga adalah ketika sanggup mengolah pustaka hidup. Mengatur belanja bacaan, dan bersama-sama mengobrolkannya ketika senja hampir lepas dan remang-remang menyelimuti kompleks perumahan.

Ketika warna merah di kaki langit sebelah barat menghilang, saat itulah kami bertasbih pada Tuhan. Bersama-sama menebus dosa, mengakui kezaliman diri. Betapa pikiran ini cupet kalau tak diisi oleh pustaka hidup. Betapa perasaan ini dangkal sekiranya tak bersentuhan langsung dalam pelayanan sesama dan selalu terbuka pada alam.

Walhasil, saya belajar. Kami belajar. Hijrah untuk memenuhi kedalaman relung hati dengan bunga-bunga, yakni hidup penuh keluhuran budi.